Kamis, 10 Desember 2009


VETERAN SRIKANDI, MENJADI GURU SUKARELA

“Tugas kami mencerdaskan anak Papua supaya segera sederajat dengan anak- anak provinsi lain, itu motto kami”

Di kompleks jalan masuk Sekolah Tinggi Filsafat Timur (STFT) Padang Bulan, tampak sebuah rumah sederhana namun tertata apik. Tembok rumah bercat putih dengan kursi yang tertata rapi. Suasana di dalam rumah begitu tenang dan nyaman ditambah angin sepoi- sepoi masuk lewat teralis pagar membuat siapa saja yang bertamu akan merasa tenang. Tampak sebuah papan nama tertulis nama pemilik rumah Drs. Tarmidja.

Dra. Siti Roekayah, M. Si, seorang yang penuh kasih, berjiwa pemberani dan bertekad baja. Walaupun pada saat ini sudah berusia 72 tahun, namun masih terlihat dari raut wajahnya sebagai sosok yang punya pemikiran jenius. Setelah lulus Sekolah Guru Agama (SGA) di Jawa Timur, ibu Siti bekerja menjadi guru SD Tulung Rejo, Jawa Timur. Setelah satu tahun bekerja akhirnya diangkat menjadi Wakil Kepala Sekolah. Tahun 1959- 1960 ibu Siti pindah ke SD Pesangrahan dan pada tahun 1961- 1962 pindah lagi ke SD Mojorejo menjadi kepala sekolah.

Meskipun sudah mempunyai jabatan yang tinggi, Ibu Siti keluar dari jabatannya dan mengikuti kata hatinya untuk berjuang ke Papua. Tepat di bulan Oktober 1962 Ibu beranak satu ini masuk Sukarelawati, masuk Batalion Bro Wijoyo, karena semuanya perempuan maka disebut Batalion Srikandi. Selama dua bulan dilatih di kompi 3 mendapat pendidikan menembak, bongkar pasang senjata, ilmu medan dan ilmu tempur. “Itu dulu, sekarang tidak lagi,” kata suami dari Prof. Drs. Tarmidja K, M. A ini.

Tepat 29 November 1962 Ibu Siti diberangkatkan ke Papua bersama 5 orang temannya yang lulus seleksi, di tambah 2 orang dari Bandung dan Ambon. Penerbangan mereka sudah istimewa menggunakan pesawat Elektra (Sejenis pesawat Jet- red). “Saya bersama 5 orang teman dan Sujarwo Tuntontoro tidak boleh dipindahkan kemana- mana untuk memberi kekuatan basis Jayapura, khususnya pendidikan,” kata Ibu yang dilahirkan di Kediri, 29 November 1937

Ibu Siti bersama 5 orang temannya, selama satu minggu belum dapat makan karena Pemerintah Indonesia belum siap dan Pemerintah UNTEA tidak mau menanggung biaya hidup mereka. “Setiap kali mau makan kami harus ke gunung Ifar, Sentani diangkut pakai mobil truck. makan bergabung dengan Tentara, setiap hari seperti itu dari Jayapura ke Sentani,” kenang Lulusan S2 UI ini.

1 Januari 1963 Ibu Siti diangkat menjadi guru SD 3 Abepura, pada saat itu muridnya dari anak- anak Knil dan pegawai Belanda (Orang asli, pegawainya belanda- red), orang asli Papua tidak boleh sekolah. Setelah menjadi pegawai UNTEA, Ibu Siti mengontrak rumah seorang Pendeta yang bernama Leborang dari Sanger, akhirnya rumah itu diberinama Wisma Srikandi. Setelah serah terima dari Menir (guru dari Belanda- red), Ibu Siti langsung mendidik anak- anak asli melalui hal- hal yang sederhana, seperti mencuci tangan dan mencuci kaki. Selain mengajar SD, ibu Siti mengajar mama- mama untuk menjahit dan memasak serta mengajar buta aksara. “Setiap hari saya membawa kain untuk membersihkan ingus- ingus mereka. Saya melakukan ini dengan sukacita, karena saya berjiwa pendidik,” kata Majelis Gereja GKI Sion ini.

Bulan November 1964, Ibu Siti menikah dengan Prof. Drs. Tarmidja K, M.A, sekaligus pembaptisan dirinya sebagai pengakuan sebagai pengikut Kristus. Dan mereka dikarunai seorang putra Insinyur Pertanian. “Sejak lama saya sudah lama mengikuti ibadah tetapi baru saat itu bisa dibaptis,” kata ibu Siti yang semua teman- temannya sudah meninggal semua. (Jon/CR 7)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar