NEOLIBERALISME DAN PEMUDA
Mendekonstruksi posisi dan peran mahasiswa dan pemuda
Dalam dinamika kemasyarakatan di tengah arus
Neoliberalisme yang mendikte
Neoliberalisme yang menancapkan layer (home economic and laissez faier) ala Adam Smith, serta dimatangkan dalam filsafat Materialisme Kapitalis global, makin mempercantik pesona intelektualitas serta ideologinya sebagai "raksasa dunia". Ironinya, pesona ideologic Neoliberalisme yang memadukan politik ekonomi Anglo-Amerika dengan dogma mengejar keuntungan (profit) dan kredo kebebasan, makin mendikte dunia dalam sebuah pasar bebas. Peradaban pasar atau pemujaan pasar yang berlebih-lebihan telah menobatkan pasar sebagai "agama baru" pasar sejati sebagai nabi penyelamat. Praktisnya hubungan-hubungan persahabatan, solidaritas kebangsaan, solidaritas kekerabatan, hubungan antara atasan dengan bawahan, ayah dengan anak, ibu dengan ayah, mahasiswa dengan dosen, guru dengan murid agamawan dengan umat, birokrat dengan masyarakat, politisi dengan rakyat, muda dengan mudi, semata-mata berorientasi pada hitungan. (kalkulasi) untung-rugi untuk mendapat profit (kenikmatan dan keuntungan material), caranya dengan mengabaikan aspek fundamental lainnya seperti; kasih sayang, pengorbanan, kesetiaan, solidaritas, gotong-royong, tradisi, adat, budaya dan tanggung jawab yang menjadi ciri ideal bagunan sebuah masyarakat berperadaban.
Neoliberalisme dalam hukum pasar mengandung ciri: Mengejar keuntungan – tiada duanya, ingin menciptakan dunia tanpa batas, menciptakan iklim persaingan yang bebas dan pasar bebas, mengejar percepatan dan kecepatan, akumulasi modal/keuntungan yang cenderung mengabaikan kesadaran kritis, refleksi batin dan koreksi moral, Pemerasan dimaklumkan sebagai kebaikan bersama, kenikmatan hidup sebagai keutamaan, materialisme yang hidup, Pengabdian penuh pada akumulasi laba, bisnis menjadi menu hidup, memperluas daya konsumsi masyarakat, melenyapkan identitas nasional dan kelokalan, mendeporsonalisasi ruang personal manusia sebagai makluk konsumen, gaji bukan harga upah dari tenaga kerja yang dijual, tetapi keuntungan dari modal (otot, otak/pengetahuan, dan ciri solidaritas kebangsaan, kekerabatan, persahabatan sejati ketrampilan) yang dimilikinya.
Tegasnya, Neoliberalisme hendak menggantikan yang menjadi nilai fundamental bangunan masyarakat dengan kerumunan wirausahawan sebagai citra ideal masyarakat Neoliberalisme. Akibatnya, munculah ideology Pemerasan, yang mengafirmasi eksploitasi tenaga kerja (buruh), nilai moral, sosial, agama, adat, budaya, masyarakat dan Negara.
Neoliberalisme Sebagai Teman Manja Kaum Muda (Pemuda)
Ternyata Neoliberalisme banyak bermain dengan jargon- jargon kaum muda, yang menawarkan: kebebasan, anti kemapanan, globalisasi gaya hidup, koleksi pemilikan (having), bergaya borjois, penampilan diri dalam keunikan identitas (fashion show) dan penawar kenikmatan atau kesenangan. Daya pesona Neoliberalisme yang seolah memperjuangkan sebuah kebebasan dibawah kontrol nurani manusia (Laissez faier) dan memanjakan mereka dengan berusaha memantapkan diri sebagai idola dan idaman kamu muda (Pemuda dan Mahasiswa).
Neoliberalisme-pun, bukan hanya menawarkan solusi-solusi normatif bagi perluasan ekonomi global, tetapi juga menawarkan mekanisme-mekanisme perilaku (style), baik yang bersifat fisik, kejiwaan, maupun keyakinan, untuk mewujudkan kesenangan dan kenikmatan, serta keunikan diri dalam berbagai modus tawanan dan perbudakan terselubung. Ideal-ideal Neoliberalisme yang menjanjikan globalisasi gaya hidup dan kebebasan dalam sebuah dunia tanpa batas (pagar) norma, berupa adat, tradisi, etika dan ideologi Negara, membuatnya memiliki daya tarik intrinsik yang cukup lugas bagi kaum muda (pemuda dan mahasiswa), yang masih labil kejiwaan dan sedang aktif mencari jati diri, sekaligus mendikte mereka, sebagaimana negara-negara ketika, dengan berbagai gaya dan pilihan hidup yang menggiurkan.
Ambisi mencari jati diri dalam keunikan identitas yang bersifat emosional (psikologis) dalam diri pemuda, begitu dipelihara dan dimanja oleh jaringan-jaringan kekuatan Neoliberalisme melalui kelancaran mekanisme produksi, distribusi, dan konsumsi industri feashion show agar tetap up to date. Modus tersebut telah menjebakan masyarakat kaum muda dalam kegairahan kredit, yang menyimpan filosofi pengandaian diri (pakai/makan dulu, bayar kemudian). Semuanya dideterminasi atau ditentukan bukan oleh ciri tanggung jawab akan kebutuhan kehidupan, tetapi oleh determinasi percepatan (dromos) regulasi pasar yang dikuasai oleh Man idola (layanan komersil) dalam membangun hiper konsumerisme menciptakan sosialitas virtual sebagai tolok ukur sosial baru dikalangan generasi muda yang berfungsi mengafirmasi, memanjakan dan membiuskan kesadarannya, sehingga lupa dan hilang daya kritis terhadap hal-hal yang lebih mendasar. Neoliberalisme-pun, tak ajalnya, menjadi teman sepermainan dan teman perselingkuhan kaum muda.
Neoliberalisme, dengan dalih "suka sama suka" berusaha menawan mereka dalam kamar-kamar ekstasi kenikmatan untuk mengejar kesenangan (lahiriah) yang mendistorsi budiluhur serta budimulia kehidupan kaum muda yang sedang mencari identitas jati diri. Ternyata, kenikmatan untuk mengejar kesenangan lahiriah telah menjadi modus perbudakan (libido/ekstasi kesenangan) yang melumpuhkan daya kritis, pendangkalan moral, intelektualitas dan keluhuran hidup banyak kaum muda dan manusia pada umumnya, di dalam berbagai bentuk kesadaran palsu (delusi), karena intensnya mekanisme produksi, distribusi, dan konsumsi.
Pertanyaan kritis yang patut diajukan adalah: apakah kebebasan dapat diperdaya dengan skandal komoditas tubuh, perselingkuhan intelektual, profesionalitas, moral, dan terapi gaya hidup yang serba instant? Ternyata, dinamisme lahiriah dimaksud hanya mampu mengalihkan kaum muda yang diidealkannya dari bentuk perbudakan lama (Anarkhisme dan Determinisme) ke bentuk perbudakan baru (kenikmatan hawa nafsu atau kesenangan) atas nama kebebasan. Bahkan, jasa perselingkuhan tersebut, banyak ber-asa dalam mendepersonalisasi spiritualitas kemanusiaan kaum muda. Neoliberalisme-pun akhirnya dicurigai sebagai modus penjajahan baru (New colonialisme) yang penuh aura, membangkitkan dan membiakkan kegairahan dan menaklukkan keluhuran. Tujuannya untuk melakukan "penjajahan yang santun" dipentas dunia post colonial, atas nama kemanusiaan, kesosialan, keamanan hidup, kelangsungan generasi dan kelestarian alam. (Editing Joni Harianto)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar