Jumat, 11 Desember 2009


TAGIH JANJI, 2010 DIBANGUN

Sore itu Mama Yubelina menggelar dagangannya di depan supermarket Gelael Jayapura. Tangannya terus menyapu genangan air disekitar lapak jualannya akibat guyuran hujan siang itu. Sambil mengunyah pinang, Ia merapikan tumpukan kangkung, cabe serta buah pisang yang menjadi jualannya. “Kami sudah sekian tahun berjualan disini, dalam keadaan panas, kehujanan. Pasar yang dijanjikan sampai saat ini belum juga dibangun. Kami bosan dengar janji Pemerintah,” kata Yubelina.

Beban hidup yang ditanggungnya guna membiayai tujuh orang buah hatinya terasa berat, apalagi dalam membiayai pendidikan. Anaknya yang pertama tidak bisa melanjutkan keperguruan tinggi akibat ketidakmampuan ekonomi.

Nasib Mama Yubelina, salah satu dari ratusan pedagang mama-mama asli Papua lainnya yang ada di kota Jayapura. Di tanah sendiri, mereka tidak memiliki tempat berjualan yang layak, belum lagi ancaman dari pemerintah melalui Dinas Trantib yang bertindak guna menjaga keindahan dan keanggunan kota. “Kami akan bertahan kalau ada pembersihan, sebelum pasar didirikan, karena kami butuh hidup,” katanya.

Kepala Dinas Trantib Kota Jayapura Otniel Meraudje, SE. MM mengatakan guna menjaga keindahan kota, apalagi menyongsong satu abad Kota Jayapura akan melakukan penertiban terhadap seluruh PKL di Kota Jayapura sesuai Perda No. 14/2001. Menertibkan reklame-reklame yang ada disepanjang jalan yang sudah rusak tetapi dibiarkan. Meminta kepada warga kota supaya memasang assesoris Port Numbay sesuai Perda No. 4/1996 JO 14/2000 dan menertibkan bangunan yang tidak memiliki SITU dan IMB. “Kami sudah melakukan sosialisasi Perda beberapa bulan ini. oleh sebab itu bulan Januari kita akan bertindak tegas, tidak ada alasan lagi, kecuali bagi PKL di depan Gelael karena mereka memiliki surat keramat dari MRP,” tegas Otniel.

Bruder Rudolf Kambayong, Ofm selaku Direktur Sekretariat Keadilan dan Perdamaian (SKP) Keuskupan Jayapura dan ketua Solidaritas mama-mama pedagang asli papua (Solpap) terus mendampingi mama-mama guna advokasi. Perjuangan mama-mama Papua guna memperoleh tempat berjualan yang layak cukup lama. Aspirasi secara santun telah dilakukan melalui surat resmi tetapi tidak mendapat tanggapan yang serius dari Pemerintah Kota maupun Pemerintah Provinsi. Cara ‘kasar’ pun harus dilakukan guna membangun pejabat dari mimpi indahnya, dengan mengadakan demo secara besar-besaran. Semua yang dilakukan untuk menagih janji pemerintah yang telah menjanjikan pembangunan pasar bagi mama-mama Papua.

Sejak tahun 2002 mama-mama diminta pindah berjualan dari pasar Ampera ke Ruko Pasifik Permai (Yang saat ini sudah berdiri megah sebuah hotel). Setelah dua tahun berjualan di sana, akhirnya pada tahun 2004 mereka dipindahkan ke pasar Youtefa. Pemindahan mama-mama ini menimbulkan pertentangan, karena mama-mama menilai pendapatan tidak seimbang dengan pengeluaran, akibat tempat yang jauh selain itu transportasi yang memakan biaya.

Akhirnya mama-mama meminta kepada Pemkot suapaya menyiapkan tempat supaya mereka bisa melakukan usahanya, namun mereka tetap diusir oleh pemerintah dalam hal ini trantib kota. Uskup Jayapura pernah melayangkan sebuah surat meminta kepada pemerintah untuk mencari tempat yang tetap bagi mereka, tetapi mengalami kesulitan. Pemerintah tidak menanggapi dengan baik, dengan tameng tidak ada tempat yang kosong untuk dijadikan lokasi berjualan mama-mama Papua. Tidak hanya itu, anggara pembangunanpun tidak ada. “Saya bertanya knapa pasar tidak masuk dalam setingan pembangunan kota,” kata Rudolf.

Tim SOLPAP membantu mama-mama berbicara dengan pihak-pihak terkait guna menyelesaikan masalah yang ada. Tetapi cukup jelas dari Walikota tidak mengharapkan pembangunan pasar dengan alasan Kota Jayapura kedepannya adalah kota bisnis. Walaupun mendengar perkataan seperti itu SKP tetap melakukan advokasi, sehingga pada tahun 2006 menawarkan sebuah konsep pasar pendidikan.

Konsep pasar yang ditawarkan berpola pada pasar yang mendidik dengan desain khas Papua, yang rencananya dua lantai. Namun rencana dan konsep tersebut terbentur pada Perda kota yang mengatakan bahwa pembangunan ditengah kota harus diatas empat lantai. Begitu alotnya perjuangan dan merasa dipermainkan akhirnya, 18 September 2008 mama-mama mengelar demo secara besar-besaran ke DPRP, dan akhirnya DPRP menyetujui dan merespon apa yang diingini mama-mama yang langsung membentuk Pansus guna mengakomodir keinginan mama-mama Papua.

Tidak hanya itu, 10 Oktober 2008 mama-mama mengalang masa sebanyak 600-700 orang menuju Walikota Jayapura guna meminta kepastian kepada lokasi pembangunan pasar. Akhirnya 14 Oktober 2008 Walikota mengirim proposal ke provinsi guna memasuki anggaran pasar pada anggaran tahun 2009. Meskipun sudah dianggarkan pada anggaran 2009, namun masalah muncul kembali tentang ketiadaan lokasi. “Padahal 5 fraksi dari 6 fraksi yang ada sudah menyetujui adanya pembangunan pasar tersebut,” katanya.

Janji tinggal sebuah janji, tanpa ada realisasi membuat mama-mama Papua semakin gerah terhadap pemerintah.

Kemarahan itu memuncak pada 14 September 2009 lalu. Ratusan mama-mama mendatang Kantor Gubernur. Orasipun dilakukan dengan, bahkan pintu masuk kantor Gubernur semuanya ditutup oleh mama-mama, sehingga tamu yang datang dari luar negeri dalam rangka kunjungan tidak bisa keluar.

Dalam keadaan terdesak, akhirnya Gubernur bersama jajarannya memanggil perwakilan mama-mama yang didampingi Tim SOLPAP guna menagih janji Gubernur sendiri. Dari pertemuan tersebut, dihasilkan sebuah keputusan dari mulut Pak Gubernur sendiri yang mengatakan bahwa pembangunan pasar bagi mama-mama sudah masuk anggaran APBD 2010 dengan lokasi di tanah milik Damri di depan Polresta Jayapura. “Saya senang karena ada tanggapan, walaupun Sk-nya hanya berdasarkan mulut gubernur saja. Kita terus menanyakan bagaimana perkembangan rencana pembangunan ini,” kata Rudolf.

Menurut Wenand Watori mantan komisi F yang terpilih kembali sebagai DPRPv mengakui adanya adanya rasa ketidakadilan bagi mama-mama yang berjualan disekitar Kota Jayapura. Di mana tempat mama-mama berjualan jauh dari kelayakan, bahkan pada saat cuaca panas ataupun hujan mereka harus bergelut melawan cuaca demi mencari nafkah. Seharusnya pemerintah memperhatikan tempat berjualan mama-mama, apalagi dengan adanya dana Otsus.

Salah satu tujuan dari Otsus guna pemberdayaan ekonomi masyarakat asli Papua. “Masa ditengah Otsus masih ada yang berjualan di tengah kota beralaskan koran, uang itu dikemanakan,” katanya. Oleh sebab itu untuk mengakomodir keinginan mama-mama Papua, maka dibentuklah Panitia Khusus (Pansus). Pansus mulai bekerja, tetapi akibat waktu yang sempit dengan adanya kegiatan Pemilu akhirnya nasib mama-mama tidak bisa diselesaikan. Saat ini perlu mengecek kembali rekamanan dari proses yang lalu sampai seberapa jauh dana, lokasi yang disiapkan, sehingga tahun depan pembangunan pasar tersebut harus ada wujudnya, jangan sampai hanya sebatas janji.

DPRP siap mendorong dan memperjuangkan keinginan mama-mama, sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada masyarakat.

“Mengurus orang Papua yang hanya satu juta saja selama 40 tahun ini tidak bisa diurus baik, lucukan. Jangan sampai terjadi lagi, Kerbau punya susu, sapi punya nama, artinya Otsus ada tetapi orang lain yang menikmati. Kita harus mewujudkan kerbau punya susu, kerbau juga punya nama,” kata Watori.

Menurut Drs. Frans Pekey, M.Si, Kepala Bappeda Kota Jayapura, tuntutan mama-mama asli Papua tentang pembangunan pasar di pusat kota sudah ada pembicaraan dan kesepakatan antara Pemprov dengan Pemkot. Di mana Gubernur telah menjanjikan bahwa akan membangun pasar tersebut di lokasi tanah Damri depan Polresta. Bappeda sudah melakukan pertemuan satu kali sebagai tindaklanjut dengan Pemprov. Sementara dari instansi teknis provinsi seperti BPN, Disperindagkop, Dinas PU dan dari Damri sendiri telah melakukan perencanaan teknisnya dan desain.

Jadi tidak terbatas pada pembangunan fisik saja, tetapi pola pembinaan yang sedang dirancang oleh Disperindagkop Provinsi dalam rangka pemberdayaan. Pemberdayaan bagi mama-mama ini bisa bersifat penyedian modal usaha, pembinaan bagaimana mengembangkan usaha dan sarana prasarana angkutan yang pada akhirnya membentuk sebuah koperasi yang sifatnya simpan pinjam ataupun sebagai pengelola hasil. “Itu yang sedang disiapkan sehingga untuk fisiknya akan dibangun 2010 oleh Pemprov dan sudah masuk dalam APBD provinsi,” kata Pekey.

Anggaran yang disiapkan dalam APBD 2010 sekitar 5 miliar diperuntuk pembangunan fisik pasar. Selain itu ada anggaran yang sengaja diprogramkan guna pembinaan dan pemberdayaan mama-mama oleh Dinas Deprindagkop Provinsi. Fisik pasar akan dibangun oleh Dinas PU sedangkan pemberdayaan mama-mama oleh Disprindagkop Provinsi bekerjasama dengan Disperindagkop Kota. “Ini bukan janji lagi, tetapi janji yang akan terealisasi,” katanya. (Joni Harianto)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar