KOLABORASI PENANGANAN HIV-TBC
Di sepanjang jalan Kota Jayapura pasti dapat ditemukan dengan mudah baliho, pemlet dan stiker yang ditempel ditembok-tembok pagar rumah guna mengajak dan mewaspadasi akan bahaya penyakit yang ‘menakutkan’ ini. Berbagai tulisan guna mengingatkan setiap setiap orang yang ada di kota ini akan bahaya HIV, antara lain ‘jangan injak sembarang’, betul ko tra mau aids? Tra mabuk tra lupa deng kondom, setia pada pasangan dan sebagainya. Setiap orang diajak untuk berperilaku tidak beresiko.
Menurut Amelia Vanda Siagian, Subdit Tuberkulosis Ditjendpp dan L Depkes RI, endemi HIV dan TBC di Provinsi Papua tinggi, apalagi untuk kasus TBC Indonesia peringkat tiga di dunia. Oleh sebab itu kasus TBC di Papua prevalensinya dilihat dari perhitungan nasional dan regional. Secara regional kawasan timur Indonesia Papua termasuk tinggi 260 per 100 ribu penduduk dan yang paling rendah kasus TBC adalah Jogyakarta dan Bali, hanya 64 per 100 ribu penduduk. “Itu untuk kasus TBC menular,” kata Siagian.
Penderita HIV salah satu penyakit penyerta yang disebut oportunistik infeksi yang paling tinggi disebabkan oleh TBC. Angka kematian ODHA diakibatkan TBCnya yang tinggi sekitar 70%. Adanya HIV di Papua disebabkan sek bebas akibat pengaruh miras, tetapi akibat pengguna napza jarum suntik (Penasun) tidak ada.
Pelayanan TBC sudah dimulai sejak tahun 1995 dengan program penanggulangan TBC nasional yang gencar dilakukan setiap puskesmas, namun pelayanan HIV di puskesmas baru terjadi belakangan ini. oleh sebab itu, prinsip adanya kolaborasi antara HIV dengan TBC karena melayani satu pasien yang mengalami dua penyakit. Maka dari itu setiap tenaga yang melayani di HIV harus mengetahui gejala-gejala penyakit TBC, begitu juga sebaliknya.
Bidan Theresia Patipeme, tenaga konselor di Puskesmas Koya Barat, kolaborasi antara TBC dengan HIV merupakan langkah positif. Di mana selama ini ia mengalami kesulitan dalam penanganan HIV dan TBC yang pengobatannya secara terpisah. Namun dengan adanya kolaborasi ini maka penanganannya akan lebih efektif lagi demi pengobatan dan penyembuhan pasien. “Banyak hal yang belum diketahui selama ini, bisa diketahui yang pasti sangat membantu kita di lapangan, apalagi narasumbernya langsung dari Depkes RI jadi ilmu-ilmu yang diberikan memang yang up to date. Ternyata banyak hal yang harus dikerjakan,” kata Patipeme.
Kasus HIV di Puskesmas Koya Barat yang sedang menjalani pengobatan ARV ada dua orang, sedangkan untuk pasien TBC paru dua orang juga, namun pengobatannya TBCnya sudah selesai. “Diharapkan kedepannya lebih teratur lagi, karena kemarin hanya sekedar memberi obat,” kata Patipeme.
Menurut dr. Bagus Sukaswara Widjaja, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Papua, TBC merupakan penyakit yang kronik. Untuk pengobatan membutuhkan waktu sekurang-kurangnya enam bulan. Didalam pengobatan mengalami satu proses dimana ada kemungkinan pada suatu saat seharusnya belum mengakhiri periode pengobatan, tetapi ia menghentikan pengobatan karena sudah merasa sehat. Oleh karena itu kadang kala ada diantara mereka yang menghentikan pengobatan sendiri. “Padahal dia belum 100% sembuh,” kata Bagus. Apalagi dengan adanya HIV, dimana HIV terjadi akibat penurunan kekebalan tubuh. Maka penurunan kekebalan tubuh ini memberi peluang terjadinya penyakit-penyakit yang barang kali pada orang normal tidak ada gejalanya. “Kalau ia bisa menjaga diri dengan baik, memperhatikan makan, istirahat, maka tidak akan terlihat gejalanya,”.
Bagus memberi sebuah contoh orang dengan HIV positif dengan mudah tertular TBC, dibandingkan orang yang normal. Misalnya ada 50 orang yang berkumpul diruangan, 5 orang menderita TBC, 3 orang HIV dan 42 orang normal, maka kemungkinan terjadi penularan TBC akan jauh lebih cepat dialami oleh tiga orang yang HIV positif, tetapi 42 orang tersebut juga bisa tertular tetapi dalam waktu yang lama. “Kalau pengobatannya tidak teratur kemungkinan TBCnya kambuh pasti ada,” katanya.
Oleh sebab itu, Dinkes sudah melakukan kolaborasi TBC-HIV dengan maksud untuk mendekatkan dan menintegrasikan program-program TBC-HIV dalam satu titik. Sebagai contoh dimana linknya, kita akan menyarankan bagi mereka yang HIV positif dengan batuk yang sudah lama, kita sarankan untuk memeriksakan dahaknya (Sputum) apakah sudah tertular TBC atau tidak. Kalau hasil pemeriksaan dahaknya positif maka secepatnya diobati. Akibat Infeksi oportunistik kemampuan daya tahan dari pengidap HIV-TBC. Pengobatannya harus dilakukan secara intensif dua bulan berturut-turut kemudian dengan pola intermiten dalam bulan sisanya. Jika dalam proses pengobatan tidak mengalami kemajuan, maka petugas TBC mencoba mengali apakah pasien TBC ini perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut, paling kurang melakukan VCT. Kalau bisa dilakukan, maka ini yang dinamakan kolaborasi TBC-HIV tanpa melihat satu sekat-sekat. “Mungkin dia tetap ditangani oleh petugas TBC, karena sudah akrab lalu petugas HIV diundang guna melakukan konseling,” kata Bagus.
Seberapa aktif petugas kita melakukan upaya-upaya deteksi. Kalau petugas kita setahun mendeteksinya hanya 50 orang, yajumlah kasusnya belum tentu dua setahun. Tetapi petugas melakukan pemeriksaan sampai 10.000 orang pertahun, maka pertambahan kasusnya bisa mencapai 50-60 pertahun, karena prevalensi HIV/AIDS sudah sedemikian rupa. “Sebagai contoh di Jawa Barat awalnya dikatakan sedikit, tetapi pada saat terjadi pemeriksaan ternyata jumlah penderitanya lebih dari Papua. itu kesulitan kita dalam masalah HIV/AIDS. Kalau di Jayapura dikumpulkan 500 orang di lapangan, saya bisa memastikan paling kurang 1-2 penderita yang ditemukan. Padahal orangnya sendiri tidak tahu kalau ia menderita karena pada tahap awal ia tidak merasa satu hal yang luar biasa yang menyakitkan, seperti sakit malaria yang langsung dirasakan. “HIV/AIDS anda tidak tahu dan merasakan. Bagi mereka yang mengidap dan mau berbuat yang lebih baik, nga apa-apa umurnya lebih panjang jika mereka mau mengubah perilaku hidupnya dari beresiko menjadi perilaku yang tidak beresiko lagi,” kata Bagus. Yang harus kita gencarkan bagaimana membuat orang tidak melakukan hal-hal yang memungkinkan dia tertular HIV, sedangkan bagi mereka yang sudah HIV mari kita beri kesempatan untuk menjalani kehidupan ini secara biasa. Hal ini yang masih cukup rumit. “Kami menyadai mengubah perilaku itu bukanlah pekerjaan sesaat, tetapi pekerjaan yang harus dilakukan secara terus-menerus,” kata Bagus.
Dari hasil Laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2008, di Provinsi Papua 51,3% penduduk sudah pernah mendengar tentang HIV/AIDS, ini lebih tinggi dari rata-rata nasional 44,4%. 45,0% diantaranya berpengetahuan benar tentang penularan HIV/AIDS dan 59,9% berpengetahuan benar tentang pencegahan HIV/AIDS. Tiga provinsi penduduknya yang paling sedikit mendengar tentang HIV/AIDS adalah Kabupaten Tolikara 11,1%, disusul Kabupaten Yapen Waropen 11,5%, sedangkan yang berpengetahuan benar tentang pencegahan HIV/AIDS terendah adalah Kabupaten Paniai 15,6%, disusul Kabupaten Asmat 25,3%, dan Kabupaten Puncak Jaya 26,6%.
Pada tahun 2015 penyakit menular seperti HIV/AIDS, TBC dan menular harus diturunkan, makanya ada upaya-upaya yang dilakukan mengejar pelayanan. Target untuk TBC menemukan kasus TBC paru menular minimal 70%. Tidak hanya ditemukan tetapi harus diobati sampai sembuh minimal 85%, guna mencegah terjadinya kekebalan obat ganda TBC (Multidrug resistance). “Perlu dijaga kepatuhan pasien dalam minum obat-obatan seperti OAT dan ARV, selain itu diharapkan teman-teman di Puskesmas bisa mengintensifkan dalam menemukan kasus TBC dari ODHA,” kata Siagian.
Departemen Kesehatan pusat hanya bisa memfasilitasi Dinas Provinsi yang pada saat ini sedang melayani 9 Puskesmas dan 6 Rumah Sakit guna meningkatkan pengetahuan, kewaspadaan terhadap TBC. Papua salah satu provinsi yang menjadi prioritas di samping Jawa Barat, Kepulauan Riau, Jawa Timur dan Papua Barat. “Dilihat dari endemi HIV maka endemi TBC lebih meningkat, oleh sebab itu tenaga dari TBC akan kewalahan,” kata Siagian.
Mengingat terbatasnya anggaran yang dimiliki Depkes RI, diharapkan ada rasa memiliki dari Pemda Kabupaten Kota untuk memplot dana bagi kesehatannya. “Kita sifatnya hanya menstimulasi, oleh sebab itu guna pencegahan perubahan perilaku harus dilakukan,” kata Siagian. (Joni Harianto)