Jumat, 11 Desember 2009


KOLABORASI PENANGANAN HIV-TBC

Di sepanjang jalan Kota Jayapura pasti dapat ditemukan dengan mudah baliho, pemlet dan stiker yang ditempel ditembok-tembok pagar rumah guna mengajak dan mewaspadasi akan bahaya penyakit yang ‘menakutkan’ ini. Berbagai tulisan guna mengingatkan setiap setiap orang yang ada di kota ini akan bahaya HIV, antara lain ‘jangan injak sembarang’, betul ko tra mau aids? Tra mabuk tra lupa deng kondom, setia pada pasangan dan sebagainya. Setiap orang diajak untuk berperilaku tidak beresiko.

Menurut Amelia Vanda Siagian, Subdit Tuberkulosis Ditjendpp dan L Depkes RI, endemi HIV dan TBC di Provinsi Papua tinggi, apalagi untuk kasus TBC Indonesia peringkat tiga di dunia. Oleh sebab itu kasus TBC di Papua prevalensinya dilihat dari perhitungan nasional dan regional. Secara regional kawasan timur Indonesia Papua termasuk tinggi 260 per 100 ribu penduduk dan yang paling rendah kasus TBC adalah Jogyakarta dan Bali, hanya 64 per 100 ribu penduduk. “Itu untuk kasus TBC menular,” kata Siagian.

Penderita HIV salah satu penyakit penyerta yang disebut oportunistik infeksi yang paling tinggi disebabkan oleh TBC. Angka kematian ODHA diakibatkan TBCnya yang tinggi sekitar 70%. Adanya HIV di Papua disebabkan sek bebas akibat pengaruh miras, tetapi akibat pengguna napza jarum suntik (Penasun) tidak ada.

Pelayanan TBC sudah dimulai sejak tahun 1995 dengan program penanggulangan TBC nasional yang gencar dilakukan setiap puskesmas, namun pelayanan HIV di puskesmas baru terjadi belakangan ini. oleh sebab itu, prinsip adanya kolaborasi antara HIV dengan TBC karena melayani satu pasien yang mengalami dua penyakit. Maka dari itu setiap tenaga yang melayani di HIV harus mengetahui gejala-gejala penyakit TBC, begitu juga sebaliknya.

Bidan Theresia Patipeme, tenaga konselor di Puskesmas Koya Barat, kolaborasi antara TBC dengan HIV merupakan langkah positif. Di mana selama ini ia mengalami kesulitan dalam penanganan HIV dan TBC yang pengobatannya secara terpisah. Namun dengan adanya kolaborasi ini maka penanganannya akan lebih efektif lagi demi pengobatan dan penyembuhan pasien. “Banyak hal yang belum diketahui selama ini, bisa diketahui yang pasti sangat membantu kita di lapangan, apalagi narasumbernya langsung dari Depkes RI jadi ilmu-ilmu yang diberikan memang yang up to date. Ternyata banyak hal yang harus dikerjakan,” kata Patipeme.

Kasus HIV di Puskesmas Koya Barat yang sedang menjalani pengobatan ARV ada dua orang, sedangkan untuk pasien TBC paru dua orang juga, namun pengobatannya TBCnya sudah selesai. “Diharapkan kedepannya lebih teratur lagi, karena kemarin hanya sekedar memberi obat,” kata Patipeme.

Menurut dr. Bagus Sukaswara Widjaja, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Papua, TBC merupakan penyakit yang kronik. Untuk pengobatan membutuhkan waktu sekurang-kurangnya enam bulan. Didalam pengobatan mengalami satu proses dimana ada kemungkinan pada suatu saat seharusnya belum mengakhiri periode pengobatan, tetapi ia menghentikan pengobatan karena sudah merasa sehat. Oleh karena itu kadang kala ada diantara mereka yang menghentikan pengobatan sendiri. “Padahal dia belum 100% sembuh,” kata Bagus. Apalagi dengan adanya HIV, dimana HIV terjadi akibat penurunan kekebalan tubuh. Maka penurunan kekebalan tubuh ini memberi peluang terjadinya penyakit-penyakit yang barang kali pada orang normal tidak ada gejalanya. “Kalau ia bisa menjaga diri dengan baik, memperhatikan makan, istirahat, maka tidak akan terlihat gejalanya,”.

Bagus memberi sebuah contoh orang dengan HIV positif dengan mudah tertular TBC, dibandingkan orang yang normal. Misalnya ada 50 orang yang berkumpul diruangan, 5 orang menderita TBC, 3 orang HIV dan 42 orang normal, maka kemungkinan terjadi penularan TBC akan jauh lebih cepat dialami oleh tiga orang yang HIV positif, tetapi 42 orang tersebut juga bisa tertular tetapi dalam waktu yang lama. “Kalau pengobatannya tidak teratur kemungkinan TBCnya kambuh pasti ada,” katanya.

Oleh sebab itu, Dinkes sudah melakukan kolaborasi TBC-HIV dengan maksud untuk mendekatkan dan menintegrasikan program-program TBC-HIV dalam satu titik. Sebagai contoh dimana linknya, kita akan menyarankan bagi mereka yang HIV positif dengan batuk yang sudah lama, kita sarankan untuk memeriksakan dahaknya (Sputum) apakah sudah tertular TBC atau tidak. Kalau hasil pemeriksaan dahaknya positif maka secepatnya diobati. Akibat Infeksi oportunistik kemampuan daya tahan dari pengidap HIV-TBC. Pengobatannya harus dilakukan secara intensif dua bulan berturut-turut kemudian dengan pola intermiten dalam bulan sisanya. Jika dalam proses pengobatan tidak mengalami kemajuan, maka petugas TBC mencoba mengali apakah pasien TBC ini perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut, paling kurang melakukan VCT. Kalau bisa dilakukan, maka ini yang dinamakan kolaborasi TBC-HIV tanpa melihat satu sekat-sekat. “Mungkin dia tetap ditangani oleh petugas TBC, karena sudah akrab lalu petugas HIV diundang guna melakukan konseling,” kata Bagus.

Seberapa aktif petugas kita melakukan upaya-upaya deteksi. Kalau petugas kita setahun mendeteksinya hanya 50 orang, yajumlah kasusnya belum tentu dua setahun. Tetapi petugas melakukan pemeriksaan sampai 10.000 orang pertahun, maka pertambahan kasusnya bisa mencapai 50-60 pertahun, karena prevalensi HIV/AIDS sudah sedemikian rupa. “Sebagai contoh di Jawa Barat awalnya dikatakan sedikit, tetapi pada saat terjadi pemeriksaan ternyata jumlah penderitanya lebih dari Papua. itu kesulitan kita dalam masalah HIV/AIDS. Kalau di Jayapura dikumpulkan 500 orang di lapangan, saya bisa memastikan paling kurang 1-2 penderita yang ditemukan. Padahal orangnya sendiri tidak tahu kalau ia menderita karena pada tahap awal ia tidak merasa satu hal yang luar biasa yang menyakitkan, seperti sakit malaria yang langsung dirasakan. “HIV/AIDS anda tidak tahu dan merasakan. Bagi mereka yang mengidap dan mau berbuat yang lebih baik, nga apa-apa umurnya lebih panjang jika mereka mau mengubah perilaku hidupnya dari beresiko menjadi perilaku yang tidak beresiko lagi,” kata Bagus. Yang harus kita gencarkan bagaimana membuat orang tidak melakukan hal-hal yang memungkinkan dia tertular HIV, sedangkan bagi mereka yang sudah HIV mari kita beri kesempatan untuk menjalani kehidupan ini secara biasa. Hal ini yang masih cukup rumit. “Kami menyadai mengubah perilaku itu bukanlah pekerjaan sesaat, tetapi pekerjaan yang harus dilakukan secara terus-menerus,” kata Bagus.

Dari hasil Laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2008, di Provinsi Papua 51,3% penduduk sudah pernah mendengar tentang HIV/AIDS, ini lebih tinggi dari rata-rata nasional 44,4%. 45,0% diantaranya berpengetahuan benar tentang penularan HIV/AIDS dan 59,9% berpengetahuan benar tentang pencegahan HIV/AIDS. Tiga provinsi penduduknya yang paling sedikit mendengar tentang HIV/AIDS adalah Kabupaten Tolikara 11,1%, disusul Kabupaten Yapen Waropen 11,5%, sedangkan yang berpengetahuan benar tentang pencegahan HIV/AIDS terendah adalah Kabupaten Paniai 15,6%, disusul Kabupaten Asmat 25,3%, dan Kabupaten Puncak Jaya 26,6%.

Pada tahun 2015 penyakit menular seperti HIV/AIDS, TBC dan menular harus diturunkan, makanya ada upaya-upaya yang dilakukan mengejar pelayanan. Target untuk TBC menemukan kasus TBC paru menular minimal 70%. Tidak hanya ditemukan tetapi harus diobati sampai sembuh minimal 85%, guna mencegah terjadinya kekebalan obat ganda TBC (Multidrug resistance). “Perlu dijaga kepatuhan pasien dalam minum obat-obatan seperti OAT dan ARV, selain itu diharapkan teman-teman di Puskesmas bisa mengintensifkan dalam menemukan kasus TBC dari ODHA,” kata Siagian.

Departemen Kesehatan pusat hanya bisa memfasilitasi Dinas Provinsi yang pada saat ini sedang melayani 9 Puskesmas dan 6 Rumah Sakit guna meningkatkan pengetahuan, kewaspadaan terhadap TBC. Papua salah satu provinsi yang menjadi prioritas di samping Jawa Barat, Kepulauan Riau, Jawa Timur dan Papua Barat. “Dilihat dari endemi HIV maka endemi TBC lebih meningkat, oleh sebab itu tenaga dari TBC akan kewalahan,” kata Siagian.

Mengingat terbatasnya anggaran yang dimiliki Depkes RI, diharapkan ada rasa memiliki dari Pemda Kabupaten Kota untuk memplot dana bagi kesehatannya. “Kita sifatnya hanya menstimulasi, oleh sebab itu guna pencegahan perubahan perilaku harus dilakukan,” kata Siagian. (Joni Harianto)


JELANG NATAL HARGA MEROKET

Padatnya aktivitas jual beli di pasar Youtefa sejak awal Desember ini semakin dirasakan. Kamis, 3 desember lalu, Opi seorang ibu rumah tangga sengaja berbelanja lebih awal, meskipun hari natal masih lama. Alasannya untuk mengantisipasi lonjakan harga barang yang menjadi tradisi menjelang hari raya.

Walaupun berbelanja lebih awal, namun lonjakan harga barang mulai menggeliat. Merangkaknya harga barang mulai dari bumbu-bumbu dapur yang awalnya harga bawang putih dan merah hanya Rp. 15ribu menjadi Rp. 24ribu, telur satu raknya dari Rp. 38 ribu menjadi Rp. 40ribu. lonjakan harga barang ini otomatis memberatkan dan menambah cos perencanaannya perbelanjaannya.

Opi hanya bisa mengeluh dan pasrah dengan keadaan harga barang yang tidak stabil dan cendrung selalu naik. Ia berharap ada tindakan tegas dari pemerintah terutama dinas terkait, guna mengendalikan harga barang pada saat menjelang hari raya selalu melonjak tajam, terlebih menjelang hari raya natal harga barang lebih tinggi lagi dari hari-hari raya lainnya. Opi berpikir pasti ada kesengajaan dari pihak pedagang untuk menaikan harga barang karena ada kesempatan memperoleh keuntungan tanpa sepengetahuan dan pengawasan Disperindagkop “Ya begitulah, namanya juga di Papua,” katanya.

Suharni, yang sudah berdagang selama 8 tahun di pasar Youtefa mengaku mendapat keuntungan lebih dari hari-hari sebelumnya. Di mana momen menjelang hari raya seperti menghadapi natal kali ini semua pedagang mendapat pemasukan lebih. Barang-barang kebutuhan rumah tangga pasti menjadi buruan pembeli guna memenuhi kebutuhan hari raya.

Lonjakan harga barang mulai dirasakan sejak lebaran hingga memasuki bulan natal ini semakin meroket. Menurut Suharni informasi yang ia dapat dari teman-temannya sesama pedagang, sembako naik akibat stok barang tidak ada. Lagian kapal yang biasa membawa barang belum masuk ke Papua. “Sudah tradisi mas, harga barang naik apalagi mau hari raya seperti ini,” kata Suharni.

Meskipun rempah-rempah mengalami kenaikan, berbeda dengan Tuger, yang berdagang sembako di Pasar Youtefa, seperti beras, minyak goreng, gula belum mengalami kenaikan, semuanya masih stabil. Tuger mengakui pasti menjelang hari H nanti ada perubahan harga, namun belum tahu seberapa jauh perubahan harga yang dimaksud karena mengikuti perkembangan pasar dan stok yang dimiliki. “Saat ini belum ada perubahan masih biasa,” kata Tuger.

Menurut Ibrahim Ohorella, Kabid Perdagangan, Disperindag Kota Jayapura pemicu melonjaknya kebutuhan sembilan bahan pokok (Sembako) karena stok barang yang menipis, akibat keterlambatan kapal dari pulau Jawa ke Jayapura yang membutuhkan perjalanan sampai berminggu-minggu. “Jadi pada prinsipnya, semakin banyak permintaan, maka semakin melonjak harga barang,”. Namun saat ini harga barang mulai stabil, dan sembako sampai bulan Januari tetap aman, karena kapal pengangkut kebutuhan sembako sudah tiba. “Stok aman menjelang natal dan tahun baru,” tegasnya.

Di mana harga satu rak telur Rp. 38ribu, bawang putih dan merah Rp. 24-25ribu, ayam potong Rp 28ribu, dan daging sapi Rp 89ribu/kg. Dari harga ini, Ohorella menghimbau kepada pedagang agar tidak menggunakan moment ini untuk melakukan spekulasi harga, sehingga pembeli yang menjadi korban.

Jika ditemukan pedagang yang nakal, maka Disperindagkop Kota akan memberi teguran bahkan sanksi pencabutan surat izin usahanya, bahkan pihak kepolisian bisa mengambil tindakan karena sudah menyangkut kepentingan orang banyak. “Kami akan selalu memantau perkembangan harga di lapangan. Kami berharap kerjasama pedagang supaya harga jangan dinaikan, sehingga pembeli keberatan, apalagi kebutuhan natal banyak. Dalam natal ini, pedagang berilah pelayanan yang baik dengan tidak melakukan spekulasi harga,” katanya.

Menurut Rayar Habel, General Manager PT. Pelindo IV (Persero) cabang Jayapura, salah satu faktor penghambat dan tingginya harga barang di Papua diakibatkan kegiatan bongkar muat di Pelabuhan Jayapura yang terganggu akibat luas pelabuhan yang semakin sempit, sedangkan jumlah kontainer yang siap dibongkar sudah menunggu. Diperparah lagi, pelabuhan hanya satu, tetapi dituntut melayani 27 kota pemekaran. Otomatis menganggu aktivitas dan pihak pengusaha yang berdampak pada harga barang. “Sarana pendukung seperti dermaga dan lapangan penumpukan kontainer terbatas, belum lagi kalau kapal putih (Kapal Penumpang-red) bersandar, otomatis kapal barang harus menyingkir dahulu, ini menambah ongkos lagi bagi mereka, sehingga berpengaruh di harga barang,” jelasnya.

Menanggapi harga yang melambung sehingga mencekik rakyat kecil, DR. Ferdinan Risamasu, SE, M.SC, A.gr, pengamat ekonomi Uncen mengatakan di Papua hanya sektor bisnis yang bergerak dalam bentuk jasa konstruksi saja, sehingga 90% bergantung dari pulau lain, seperti Jawa, Surabaya dan Ujung Pandang.

Rendahnya tingkat produksi membuat harga barang meningkat. “Kalau kita mau harga murah di Papua harus ada peningkatan kesejahteraan masyarakat, iklim bisnis yang kondusif, seperti kepemilikan tanah yang selalu bermasalah dan terbatasnya energi listrik. Apalagi pada saat ini lembaga perlindungan konsumen seperti YLKI belum ada. Tidak ada fungsi kontrol dan tidak ada kajian- kajian tertentu dari pemerintah. Kita tidak berani bermain disektor riil,” kata Risamasu (Joni Harianto)


TAGIH JANJI, 2010 DIBANGUN

Sore itu Mama Yubelina menggelar dagangannya di depan supermarket Gelael Jayapura. Tangannya terus menyapu genangan air disekitar lapak jualannya akibat guyuran hujan siang itu. Sambil mengunyah pinang, Ia merapikan tumpukan kangkung, cabe serta buah pisang yang menjadi jualannya. “Kami sudah sekian tahun berjualan disini, dalam keadaan panas, kehujanan. Pasar yang dijanjikan sampai saat ini belum juga dibangun. Kami bosan dengar janji Pemerintah,” kata Yubelina.

Beban hidup yang ditanggungnya guna membiayai tujuh orang buah hatinya terasa berat, apalagi dalam membiayai pendidikan. Anaknya yang pertama tidak bisa melanjutkan keperguruan tinggi akibat ketidakmampuan ekonomi.

Nasib Mama Yubelina, salah satu dari ratusan pedagang mama-mama asli Papua lainnya yang ada di kota Jayapura. Di tanah sendiri, mereka tidak memiliki tempat berjualan yang layak, belum lagi ancaman dari pemerintah melalui Dinas Trantib yang bertindak guna menjaga keindahan dan keanggunan kota. “Kami akan bertahan kalau ada pembersihan, sebelum pasar didirikan, karena kami butuh hidup,” katanya.

Kepala Dinas Trantib Kota Jayapura Otniel Meraudje, SE. MM mengatakan guna menjaga keindahan kota, apalagi menyongsong satu abad Kota Jayapura akan melakukan penertiban terhadap seluruh PKL di Kota Jayapura sesuai Perda No. 14/2001. Menertibkan reklame-reklame yang ada disepanjang jalan yang sudah rusak tetapi dibiarkan. Meminta kepada warga kota supaya memasang assesoris Port Numbay sesuai Perda No. 4/1996 JO 14/2000 dan menertibkan bangunan yang tidak memiliki SITU dan IMB. “Kami sudah melakukan sosialisasi Perda beberapa bulan ini. oleh sebab itu bulan Januari kita akan bertindak tegas, tidak ada alasan lagi, kecuali bagi PKL di depan Gelael karena mereka memiliki surat keramat dari MRP,” tegas Otniel.

Bruder Rudolf Kambayong, Ofm selaku Direktur Sekretariat Keadilan dan Perdamaian (SKP) Keuskupan Jayapura dan ketua Solidaritas mama-mama pedagang asli papua (Solpap) terus mendampingi mama-mama guna advokasi. Perjuangan mama-mama Papua guna memperoleh tempat berjualan yang layak cukup lama. Aspirasi secara santun telah dilakukan melalui surat resmi tetapi tidak mendapat tanggapan yang serius dari Pemerintah Kota maupun Pemerintah Provinsi. Cara ‘kasar’ pun harus dilakukan guna membangun pejabat dari mimpi indahnya, dengan mengadakan demo secara besar-besaran. Semua yang dilakukan untuk menagih janji pemerintah yang telah menjanjikan pembangunan pasar bagi mama-mama Papua.

Sejak tahun 2002 mama-mama diminta pindah berjualan dari pasar Ampera ke Ruko Pasifik Permai (Yang saat ini sudah berdiri megah sebuah hotel). Setelah dua tahun berjualan di sana, akhirnya pada tahun 2004 mereka dipindahkan ke pasar Youtefa. Pemindahan mama-mama ini menimbulkan pertentangan, karena mama-mama menilai pendapatan tidak seimbang dengan pengeluaran, akibat tempat yang jauh selain itu transportasi yang memakan biaya.

Akhirnya mama-mama meminta kepada Pemkot suapaya menyiapkan tempat supaya mereka bisa melakukan usahanya, namun mereka tetap diusir oleh pemerintah dalam hal ini trantib kota. Uskup Jayapura pernah melayangkan sebuah surat meminta kepada pemerintah untuk mencari tempat yang tetap bagi mereka, tetapi mengalami kesulitan. Pemerintah tidak menanggapi dengan baik, dengan tameng tidak ada tempat yang kosong untuk dijadikan lokasi berjualan mama-mama Papua. Tidak hanya itu, anggara pembangunanpun tidak ada. “Saya bertanya knapa pasar tidak masuk dalam setingan pembangunan kota,” kata Rudolf.

Tim SOLPAP membantu mama-mama berbicara dengan pihak-pihak terkait guna menyelesaikan masalah yang ada. Tetapi cukup jelas dari Walikota tidak mengharapkan pembangunan pasar dengan alasan Kota Jayapura kedepannya adalah kota bisnis. Walaupun mendengar perkataan seperti itu SKP tetap melakukan advokasi, sehingga pada tahun 2006 menawarkan sebuah konsep pasar pendidikan.

Konsep pasar yang ditawarkan berpola pada pasar yang mendidik dengan desain khas Papua, yang rencananya dua lantai. Namun rencana dan konsep tersebut terbentur pada Perda kota yang mengatakan bahwa pembangunan ditengah kota harus diatas empat lantai. Begitu alotnya perjuangan dan merasa dipermainkan akhirnya, 18 September 2008 mama-mama mengelar demo secara besar-besaran ke DPRP, dan akhirnya DPRP menyetujui dan merespon apa yang diingini mama-mama yang langsung membentuk Pansus guna mengakomodir keinginan mama-mama Papua.

Tidak hanya itu, 10 Oktober 2008 mama-mama mengalang masa sebanyak 600-700 orang menuju Walikota Jayapura guna meminta kepastian kepada lokasi pembangunan pasar. Akhirnya 14 Oktober 2008 Walikota mengirim proposal ke provinsi guna memasuki anggaran pasar pada anggaran tahun 2009. Meskipun sudah dianggarkan pada anggaran 2009, namun masalah muncul kembali tentang ketiadaan lokasi. “Padahal 5 fraksi dari 6 fraksi yang ada sudah menyetujui adanya pembangunan pasar tersebut,” katanya.

Janji tinggal sebuah janji, tanpa ada realisasi membuat mama-mama Papua semakin gerah terhadap pemerintah.

Kemarahan itu memuncak pada 14 September 2009 lalu. Ratusan mama-mama mendatang Kantor Gubernur. Orasipun dilakukan dengan, bahkan pintu masuk kantor Gubernur semuanya ditutup oleh mama-mama, sehingga tamu yang datang dari luar negeri dalam rangka kunjungan tidak bisa keluar.

Dalam keadaan terdesak, akhirnya Gubernur bersama jajarannya memanggil perwakilan mama-mama yang didampingi Tim SOLPAP guna menagih janji Gubernur sendiri. Dari pertemuan tersebut, dihasilkan sebuah keputusan dari mulut Pak Gubernur sendiri yang mengatakan bahwa pembangunan pasar bagi mama-mama sudah masuk anggaran APBD 2010 dengan lokasi di tanah milik Damri di depan Polresta Jayapura. “Saya senang karena ada tanggapan, walaupun Sk-nya hanya berdasarkan mulut gubernur saja. Kita terus menanyakan bagaimana perkembangan rencana pembangunan ini,” kata Rudolf.

Menurut Wenand Watori mantan komisi F yang terpilih kembali sebagai DPRPv mengakui adanya adanya rasa ketidakadilan bagi mama-mama yang berjualan disekitar Kota Jayapura. Di mana tempat mama-mama berjualan jauh dari kelayakan, bahkan pada saat cuaca panas ataupun hujan mereka harus bergelut melawan cuaca demi mencari nafkah. Seharusnya pemerintah memperhatikan tempat berjualan mama-mama, apalagi dengan adanya dana Otsus.

Salah satu tujuan dari Otsus guna pemberdayaan ekonomi masyarakat asli Papua. “Masa ditengah Otsus masih ada yang berjualan di tengah kota beralaskan koran, uang itu dikemanakan,” katanya. Oleh sebab itu untuk mengakomodir keinginan mama-mama Papua, maka dibentuklah Panitia Khusus (Pansus). Pansus mulai bekerja, tetapi akibat waktu yang sempit dengan adanya kegiatan Pemilu akhirnya nasib mama-mama tidak bisa diselesaikan. Saat ini perlu mengecek kembali rekamanan dari proses yang lalu sampai seberapa jauh dana, lokasi yang disiapkan, sehingga tahun depan pembangunan pasar tersebut harus ada wujudnya, jangan sampai hanya sebatas janji.

DPRP siap mendorong dan memperjuangkan keinginan mama-mama, sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada masyarakat.

“Mengurus orang Papua yang hanya satu juta saja selama 40 tahun ini tidak bisa diurus baik, lucukan. Jangan sampai terjadi lagi, Kerbau punya susu, sapi punya nama, artinya Otsus ada tetapi orang lain yang menikmati. Kita harus mewujudkan kerbau punya susu, kerbau juga punya nama,” kata Watori.

Menurut Drs. Frans Pekey, M.Si, Kepala Bappeda Kota Jayapura, tuntutan mama-mama asli Papua tentang pembangunan pasar di pusat kota sudah ada pembicaraan dan kesepakatan antara Pemprov dengan Pemkot. Di mana Gubernur telah menjanjikan bahwa akan membangun pasar tersebut di lokasi tanah Damri depan Polresta. Bappeda sudah melakukan pertemuan satu kali sebagai tindaklanjut dengan Pemprov. Sementara dari instansi teknis provinsi seperti BPN, Disperindagkop, Dinas PU dan dari Damri sendiri telah melakukan perencanaan teknisnya dan desain.

Jadi tidak terbatas pada pembangunan fisik saja, tetapi pola pembinaan yang sedang dirancang oleh Disperindagkop Provinsi dalam rangka pemberdayaan. Pemberdayaan bagi mama-mama ini bisa bersifat penyedian modal usaha, pembinaan bagaimana mengembangkan usaha dan sarana prasarana angkutan yang pada akhirnya membentuk sebuah koperasi yang sifatnya simpan pinjam ataupun sebagai pengelola hasil. “Itu yang sedang disiapkan sehingga untuk fisiknya akan dibangun 2010 oleh Pemprov dan sudah masuk dalam APBD provinsi,” kata Pekey.

Anggaran yang disiapkan dalam APBD 2010 sekitar 5 miliar diperuntuk pembangunan fisik pasar. Selain itu ada anggaran yang sengaja diprogramkan guna pembinaan dan pemberdayaan mama-mama oleh Dinas Deprindagkop Provinsi. Fisik pasar akan dibangun oleh Dinas PU sedangkan pemberdayaan mama-mama oleh Disprindagkop Provinsi bekerjasama dengan Disperindagkop Kota. “Ini bukan janji lagi, tetapi janji yang akan terealisasi,” katanya. (Joni Harianto)


Penulis: Joni Harianto*

Memahami Fungsi Masing-Masing


Setiap orang pasti merindukan keharmonisan dan keutuhan dalam keluarganya. Hal ini tidak dapat disangkal. Namun, realitanya begitu banyak hubungan suami-istri dalam mengarungi bahtera rumah tangganya kandas ditengah jalan. Yang menjadi korban dalam peristiwa tersebut pastilah kaum yang lemah yaitu Perempuan dan anak-anak yang tidak tahu masalahnya. Kadangkala dalam kehidupan berkeluarga, seorang istri atau sebaliknya tidak menyadari kalau kekerasan yang terjadi di dalam rumah tangganya adalah tindakan kekerasan. Atau ada yang mengetahui tetapi tidak mau melapor kepihak yang berwajib dengan berbagai alasan, salah satunya takut membuka aib keluarganya. Yang lebih parah lagi, tetangga yang menyaksikan kekerasan tersebut hanya bisa berdiam diri, karena tidak mau ikut mencampuri urusan orang lain.

Akar penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) bersumber pada budaya patriarki yang masih kental, kemiskinan, pengangguran dan ekonomi rumah tangga yang gagal. Oleh sebab itu, pencegahan dan pemberantasan KDRT dalam rumah tangga bukanlah perkara mudah karena harus didekati secara multidimensional, seperti dengan pendekatan kesejahteraan sosial, ekonomi, perlindungan tenaga kerja dan pendekatan budaya, serta pendekatan secara hukum.

Ditetapkannya UU KDRT no. 23 tahun 2004 atas persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Presiden Republik Indonesia tentang penghapusan KDRT, maka memberi perlindungan dan keamanan bagi kaum hawa, sebagai kaum yang lemah. UU DKRT melindungi dan memberi sanksi bagi yang melakukantindakan kekerasan baik secara fisik, psikis, seksual dan penelantaran rumah tangga. Semuanya itu wajib dilaporkan secara langsung oleh korban maupun melalui keluarga korban.

Tidak hanya UU KDRT tetapi ada UUD 1945 pasal 28 G ayat (1) mengatakan, “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”. Memperhatikan UUD 1945 tersebut, negara berpandangan bahwa segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga adalah pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat manusia serta bentuk diskriminasi.

UU tentang penghapusan KDRT ini terkait erat dengan beberapa peraturan Perundang-undangan lain yang sudah berlalu sebelumnya, antara lain UU No. 8 tahun 1981 tentang Kitab UU hukum acara pidana, UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, UU No. 7 tahun 1984 tentang pengesahan konvensi mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita (Covention on the elimination of all forms of discrimation against women), dan UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Dengan adanya UU KDRT dan UU pendukung lainnya, maka memberi penghormatan hak asasi manusia, keadilan, dan kesetaraan gender, non diskriminasi serta perlindungan korban. Di mana tujuan dari UU KDRT sendiri guna mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga, melindungi korban kekerasan, menindak pelaku dalam memilihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera. Semuanya itu dapat diselesaikan dan terwujud apabila masing-masing mengenal fungsinya di dalam keluarga. Alkitab menuliskan bahwa perempuan berfungsi sebagai pendamping yang memberi kekuatan kepada suaminya. Perempuan bukan diciptakan sebagai kelas dua, tetapi sebagai pendamping yang sejajar dengan pria. Oleh sebab itu, sebagai kepala keluarga sepatutnya mengasihi dan memberi kasih sayangnya kepada istrinya dan seluruh keluarganya (Kolose 3: 18, 19). Kitab Kejadian 1: 27, 28 dan 2: 8 menjelaskan bahwa perempuan diciptakan bukan sebagai budak sehingga harus dikasari, tetapi perempuan selayaknya diperlakukan sebagai teman sekerja yang sejajar karena sama-sama diciptakan serupa dengan Allah. Jika hal tersebut dilakukan dan diresponi, niscaya KDRT tidak akan terjadi. (*)


BLK Butuh Sentuhan dari Luar

Penciptaan lapangan kerja produktif perlu didukung oleh tersedianya tenaga kerja berkualitas tinggi, yaitu tenaga kerja yang kompeten sesuai dengan kebutuhan penggunanya. Pengembangan kompetensi tenaga kerja menjadi salah satu kunci dalam rangka meningkatkan daya saing dan produktivitas tenaga kerja. Kompetensi dan produktivitas menjadi salah satu prioritas nasional penciptaan kesempatan kerja. Salah satu arah pengembangan dan penguatan kompetensi adalah dengan mewujudkan Balai Latihan Kerja (BLK) Papua menjadi lembaga pelatihan berbasis kompetensi. Di mana tujuan pelatihan menjadikan BLTKI Provinsi Papua sebabgi model dan pusat penyelenggaraan Diklat calon tenaga kerja/pencari kerja. Selain itu meningkatkan kualitas dan produktivitas instruktur dan tenaga kerja.

BLK yang beralamat di Jln. Pasifik Indah I Base G Jayapura mempunyai tugas pokok mengacu pada perumusan program pelatihan, pemagangan, kurikulum, dan kesiswaan serta pemasaran dan pengelolaan sarana dan prasarana, serta tugas lain yang diberikan oleh Dinas Tenaga Kerja dan Kependudukan Provinsi Papua.

Menurut Kepala BLKI Provinsi Papua Drs. Yan Piet Rawar melalui Kepala Seksi Pelatihan dan Pemagangan Kopong Payong Fransiskus, jenis pelatihan yang dilakukan di Balai Latihan Tenaga Kerja Industri (BLTKI) meliputi jenis Teknologi Mekanik antara lain: mesin produksi, las, plumbing, sheet metal. Jenis Otomotif meliputi: mesin bensin, mesin diesel, sepeda motor, motor tempel dan ketok duco. Jenis Listrik: Listrik industri, instalasi tenaga, instalasi penerangan, teknik, teknik pendingin, elektronik, dan mekatonik.

Jenis Bangunan meliputi bangunan kayu/batu, konstruksi, meubel/furniture, gambar dan rencana. Jenis tata niaga meliputi sekretaris, komputer, bahasa, pariwisata dan perhotelan. Jenis Aneka Kejuruan, meliputi jahit pakaian (Tata busana), anyaman rotan/bambu, masak memasak, ukir kayu. Jenis Pertanian: perikanan darat, peternakan, perkebunan, mekanisasi pertanian, prosesing, teknologi tepat guna. “Kita kekurangan instruktur. Sekarang hanya 17 orang saja, karena banyak yang sudah pensiun,” kata Kopong.

Dengan adanya kunjungan dari International Labour Organization (ILO) dan Unicef (12 November) diharapkan bisa membantu kembali BLK, karena sudah sekian lama ILO meninggalkan BLK. Dan sekarang mereka kembali lagi. Diharapkan dengan kunjungan dari Belanda ini bisa membantu peralatan-peralatan yang kurang di BLK. “Saat ini yang dibutuhkan peralatan yang baru, karena saat ini peralatan sudah stok lama,” kata Kopong.

Animo masyarakat terhadap BLK sangat tinggi hal ini terbukti ditahun 2009 melatih 1808 siswa. Sumber dana yang membiayai 1000 orang bersumber dari APBD, sedangkan yang 808 orang dibantu dari sumber dana APBN. Lulusan BLK saat ini on the job training di perusahaan dan instansi pemerintah selama tiga bulan. “Apabila menunjukan dedikasi dan prestasi yang baik, maka bisa diangkat jadi tenaga kontrak atau yang lainya. Kalau dikirim keluar negeri belum ada,” kata Kopong.

Menurut Mr. Paul Frame dari ILO, kedatangan Unicef, ILO, guna melihat fasilitas dan memantau perkembangan BLK. Setelah meneliti dan mengunjungi setiap bengkel di BLK, ternyata BLK butuh instruktur khusus didalam otomotif, las, teknik, dan mesin motor tempel. “Mungkin instruktur tahun depan akan datang,” katanya. Paul menambahkan mereka datang kesini supaya mereka mengerti ada gedung-gedung yang rusak. BLK Sudah maju, tetapi masih banyak yang perlu dibenahi dan ini sifatnya progress,”.

Kepala Dinas Tenaga Kerja Provinsi Papua, Ir Marthen Tangaran, MM, menyambut baik kunjungan dari ILO, Unicef guna memberi dukungan terhadap BLK. Ia menjelaskan, BLK masih kekurangan instruktur serta mesin yang digunakan sudah tua, butuh mesin baru sehingga mempermudah setiap siswa yang melakukan pelatihan. “Manajemen pengelolaan BLK perlu diperkuat dan dikembangkan, sehingga bisa memenuhi kebutuhan pasar,” kata Tangaran. Ia berharap guna mensukseskan pelaksanaan kegiatan kedepan, kondisi peralatan pelatihan perlu diadakan perbaikan.

Tidak hanya itu pengadaan mesin baru harus dilakukan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Selain itu kondisi bengkel perlu diadakan renovasi yang sesuai dengan kapasitas pelatihan. Kopong menambahkan, BLK sudah mendapat bantuan mesin dari Belanda, walaupun belum untuk semuanya. Kecemasan itu sudah bisa terjawab secara perlahan guna mencetak sumber daya manusia yang berkualitas. “Kami berharap BLK bisa lebih maju dari sekarang dan perusahaan-perusahaan di Papua bisa menerima tamatan dari BLK,” kata Kopong. (Jon/R4)


Menunggu Kematian, Tanpa makanan


Bencana kelaparan yang terjadi di Kabupaten Yahukimo masih menyisakan duka. Di mana penyaluran bantuan makanan ataupun kesehatan yang dilakukan oleh Pemkab Yahukimo maupun Pemerintah Provinsi Papua belum sepenuhnya menyentuh masyarakat. Keadaan ini diperparah topografi yang berbukit-bukit serta perkampungan yang berada di balik-balik gunung semakin mempersulit pendistribusian. Belum lagi masalah pengkutan Bama hanya melalui udara dengan cuaca yang tidak menentu atau berubah-ubah setiap saat semakin mempersulit para petugas di lapangan.

Sampai saat ini, Senin, 16 November 2009 masih ada distrik (Kecamatan-red) yang belum tersentuh bantuan. Salah satunya Distrik Seradala yang berpenduduk 4000 jiwa. Janji Pemkab Yahukimo yang akan mengirim bantuan sebanyak 3.3 ton hanya berlalu bagaikan angin. Tidak hanya itu tiga distrik lainnya masih mengalami kekurangan bahan makanan walaupun sudah diberi bantuan, seperti Distrik Langda, Distrik Bomela, dan Distrik Suntamon yang sudah mendapat bantuan sebanyak 2.7 ton, walaupun kurang dari yang dijanjikan. Di mana janji Pemkab akan memberi bantuan setiap distrik sebesar 3.3 ton.

Pada tahun ini ke empat distri, Distrik Langda, Distrik Bomela, Distrik Suntamon dan Distrik Seradala mengalami bencana kelaparan yang paling parah dari kelaparan yang terjadi sebelumnya.

Menurut Isak Kipka, S.Th Koordinator Yayasan Kristen Pelayanan Sosial Masyarakat Indonesia (Yakpesmi) yang mendapat data dan informasi terjadinya bencana kelaparan saat melakukan kunjungan kerja dan evaluasi kegiatan program buta huruf di distrik-distrik tersebut. Setelah melakukan pendataan, ternyata ada 92 warga yang meninggal di empat distrik tersebut akibat kelaparan. Kelaparan dipicu kondisi cuaca dari bulan Januari-Agustus yang terus memburuk. Diperparah lagi pada bulan Mei-Agustus curah hujan cukup tinggi, dan selalu berkabut. Akibatnya, tanaman tidak ada hasil, umbi-umbian hanya tumbuh akarnya saja, kalaupun ada isinya hanya sebesar jempol manusia saja. "Data ini berdasarkan hasil fakta di lapangan bahwa telah terjadi bencana kelaparan yang kemudian mengakibatkan masyarakat terserang berbagai penyakit," tegas Isak.

Guna menganjal perut, saat ini masyarakat mulai dari balita hingga orang tua memakan daun-daunan, Duce/Lana Mentah, Sengketna

Daun Ubi jalar, Daun Labu Siam, Daun Pakis, Sayur Lilin. Setiap hari mereka hanya menyantap dedaunan tersebut, jika tidak diolah dengan baik, maka daun-daun ini akan mengakibatkan diare yang berujung pada kematian. Akibat kekurangan makanan tersebut, kesehatan masyarakat pun terganggu. Masyarakat yang kelaparan itu kemudian terserang berbagai penyakit, seperti malaria, sesak nafas maupun penyakit dalam seperti paru-paru basah. "Yang tidak tahan, kemudian meninggal dunia," katanya.

Menurut Kepala kampung Bomela, Mathius Aroman, sejak terjadi krisis pangan di Distrik Bomela, ribuan warga terpaksa mengonsumsi buah bangal. Buah bangal adalah tanaman lokal asli di Yahukimo yang tumbuh secara liar di hutan. Di mana bau khasnya seperti buah jambu yang mau busuk. Biasanya buah ini diperuntukkan bagi makanan babi. Tetapi akibat tidak adanya makanan lagi, maka masyarakat tetap menyantapnya guna menganjal perut yang keroncongan. Dengan konsekuensi ramput rontok, berat badan turun bahkan nyawa melayang akibat buah tersebut beracun. “Saya ingin supaya pak Bupati dan Gubernur bisa merasakan buah ini, karena sekarang yang masyarakat makan buah ini,” kata Mathias.

Isak Kipka mempertanyakan di tengah hembusan dana Otsus, masih ada daerah yang kelaparan. Apalagi anggaran dana Pemkab melimpah, namun tidak ada hasilnya bagi masyarakat. Ia menyayangkan semua yang terjadi baik itu pembangunan tidak menggunakan perencanaan yang jelas. Berbeda dengan pembangunan oleh badan misi yag memiliki perencanaan yang tepat pembangunan selalu berhasil dan menyentuh masyarakat. “Kami mempertanyakan strategi apa yang akan dilakukan pmerintah guna menanggulangi bencana kelaparan ini supaya tidak terulang lagi. Pemerintah harus melakukan pembinaan secara sistematis dan selalu bekerjasama dengan pihak LSM guna pengontrolan. Kalau tidak maka sama saja seperti membuang hujan diatas pasir,” kata Isak.

Menurut J. Septer Manufandu, Sekretaris Eksekutif Foker LSM Papua, kelapran terjadi akibat siklus musiman yang terjadi setiap tahunnya. Di mana pada bulan-bulan tertentu terjadi perubahan iklim yang ekstrim. Akhirnya, akibat curah hujan yang tinggi, kemudian suhu begitu dingin tanaman tetap tumbuh tetapi tidak ada karbonhidrat yang tersimpan di ubi, karena dipergunakan untuk proses fotosintesis untuk menghasilkan panas sehingga tetap tumbuh. Ketika musim-musim seperti itu, mereka biasa mengkonsumsi buah merah dan kelapa hutan, sayur batang. Rantai sosial ini diputuskan oleh yang namanya bantuan beras itu. Dengan adanya bantuan beras murah/miskin itu rantai sosial ini diputuskan di tambah dengan situasi politik yang lain. Katakanlah pada saat Pemilu, yang laki-laki sibuk ikut politik akhirnya tidak ada yang kekebun. Pengalaman tahun 2006 banyak yang ikut politik akhirnya yang dirumah hanya ibu-ibu dan anaknya. “Saya cerita begini karena saya lahir disitu dan pernah mengalami itu,” kata Septer.

“Ini merupakan siklus yang setiap tahun terjadi. Namun disayangkan tujuan dari pemekaran yahukimo itu untuk melihat situasi-situasi seperti begitu. Situasi ini sudah berlangsung berabad-abad namun mereka tidak pernah mati karena tidak diputusan rantai sosial itu akibat bantuan raskin sedangkan kalori raskin itu tidak mencukupi itu. “Ada prespektif raskin masuk akhirnya membuat masyarakat malas,” kata Septer.


DISIPLIN KUNCI KEBERHASILAN

Pendidikan bagi generasi muda adalah masa depan sebuah bangsa. Begitu banyak permasalahan dalam dunia pendidikan yang dihadapi, mulai dari permasalahan kekurangan bangunan sekolah, kesejahteraan guru, metode pengajaran, kualitas guru dan masih banyak lagi, yang semuanya itu membuat kualitas pendidikan tetap rendah. Sebagai ujung tombak pendidikan, saat ini, begitu banyak guru-guru yang masih sangat lemah kemampuan mengajarnya, menggunakan metodologi pengajaran komunikasi satu arah, memperlakukan siswa sebagai objek yang harus diisi dengan pengetahuan, ditambah guru-guru sendiri tidak tahu bagaimana harus berkembang.

Dimana Kebodohan adalah musuh utama manusia, sumber dari malapetaka dan kesengsaraan. Oleh sebab itu kebodohan harus dilenyapkan dalam diri manusia melalui pendidikan. SMP Negeri 3 Jayapura hadir ditengah kemelut pendidikan dan memberi secerah pengharapan guna memajukan pendidikan. Sekolah yang beralamat di Jalan Ardipura-Jayapura Selatan, Provinsi Papua ini memang tampil beda dari sekolah lainnya.

Sejarah

Sejak berdiri tahun 1970 dengan nama SMP Negeri 2 Jayapura sudah memberi kontribusi yang luar biasa bagi pendidikan di kota ini. Pada tahun 1984, SMP ini diganti namanya menjadi SMP Negeri 1 Jayapura Selatan karena letaknya berada di distrik Jayapura Selatan. Tahun 1994 diubah lagi menjadi SMP Negeri 3 Jayapura Selatan. 10 tahun kemudian, tepatnya tahun 2004 diubah kembali menjadi SMP Negeri 3 Jayapura hingga saat ini.

Walaupun baru dilantik 2 Oktober 2009 lalu, Drs. Clifrord Korwa, M.Pd selaku Kepala Sekolah SMP Negeri 3 Jayapura siap mewarnai sekolahnya. Didampingi Wakil Kepala Sekolah Mokodopit Jermia Baris, S.Pd dan dewan guru yang berkualitas serta telah lulus sertifikasi guru semakin meringakan langkahnya untuk memberi yang terbaik bagi dunia pendidikan, khususnya bagi SMP 3.

Perhatiannya pada dunia pendidikan tidak diragukan lagi, sehingga dalam mengawali tugasnya yang paling utama diterapkan adalah penanaman disiplin siswa dan guru. “Karena saya pikir dengan disiplin bisa membentuk guru dan siswa menuju kepada tujuan yang kita inginkan menjadikan sekolah ini sekolah yang berkualitas,” kata Korwa

Clifrord Korwa bersama dewan guru siap melaksanakan visi misi sekolah yang telah dicanangkan.

Dengan visi : Dalam menyelenggarakan proses pendidikan yang mengacu pada sistem pendidikan nasional dengan pola pemberdayaan seluruh peserta didik akan menghasilkan lulusan yang unggul dalam berbagai prestasi berdasarkan iman dan taqwa.

Misi : Untuk terwujudnya visi dan misi yang dimaksud dilaksanakan :

- Pembelajaran dan bimbingan secara efektif yang mendorong siswa berkembang secara optimal dengan potensinya.

- Menumbuhkan semangat kebersamaan secara intensif kepada seluruh warga sekolah

- Mendorong dan membantu setiap siswa untuk mengenali potensi-potensi dirinya sehingga berkembang secara optimal

- Menumbuhkan penghayatan seluruh warga SMPN 3 Jayapura untuk menghayati agama yang dianut dan diimani menjadi sumber kreatif dalam bertindak

- Manajemennya partisipatif dengan melibatkan seluruh warga sekolah dan kelompok terkait dengan sekolah

Tidak hanya Visi Misi, tetapi SMP Negeri 3 pun mempunyai tujuan yang mulia yaitu: Dalam jangka waktu 4 tahun kedepan :

- Lulusannya mencapai nilai rata-rata STL meningkat dari 0,5 menjadi 1,0 setiap tahun

- Lulusannya 60% dapat melanjutkan ke SMA/SMK yang terbaik setiap tahun

- Memiliki Tim olahraga minimal tiga cabang dan menjadi peserta PON

- Memiliki siswa yang tampil dalam lomba-lomba keagamaan di tingkat kota dan provinsi

- Lulusannya memiliki kepekaan sosial yang tinggi dan peduli terhadap pelestarian dan kebersihan lingkungan.

Dewan Guru dan Murid

Tahun pelajaran 2009/2010 SMP Negeri 3 Jayapura sudah memiliki 58 orang tenaga pengajar, terdiri dari 35 guru tetap dan 23 guru tidak tetap. Di lihat dari kualifikasi pendidikan, sebagian besar guru SMP Negeri 3 Jayapura adalah tamatan Strata satu (sarjana), yakni 1 orang S2, 45 orang S1, Diploma II, 2 orang, Diploma 1 dan sederajat 7 orang. Dari ke-35 guru PNS tersebut ada dua orang yang telah selesai belajar Bahasa Inggris di Australia. Di mana sebelum ke Australia ditraining selama tiga bulan di Bali.

SMP Negeri 3 Jayapura memiliki siswa 1446 orang dengan klasifikasi kelas VII ada 10 kelas, kelas VIII ada 9 kelas dan kelas IX ada 8 kelas. Dimana kelas VII putranya berjumlah 205 siswa, putrinya 234 siswi. Kelas VIII putranya berjumlah 184 siswa, putrinya 203 siswi, dan kelas IX putranya berjumlah 162 siswa, sedangkan putrinya ada 155 orang. Putra daerah ada 551 orang, sisanya pendatang, kata Korwa.

Sekolah Berstandar Nasional

Menurut Drs. Clifrord Korwa, M.Pd, dengan status sebagai sekolah berstandar nasional berarti tanggungjawab dari pemerintah yang diberikan kepada sekolahnya wajib dipertahankan, serta menjadi beban yang harus dipertanggungjawabkan. Ia mengaku syarat mendapatkan sekolah berstandar nasional bukanlah hal yang gampang, tetapi harus dilihat dari semua lini. Baik itu atministrasi, rencana persiapan pembelajaran (RPP), Kurikulum Tingkat Satuan Pembelajaran (KTSP) tersendiri dan bidang-bidang yang diunggulkan lainnya, seperti Matematika, IPA, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris. “Mulai saat ini setiap guru yang masuk kelas khusus mata pelajaran IPA harus bisa mengajar menggunakan Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris,” kata Korwa.

Selain itu SMP 3 memiliki fasilitas yang mendukung, sehingga layak menjadi sekolah bertaraf nasional yaitu memiliki fasilitas laboratorium IPA, laboratorium komputer, laboratorium bahasa dan sarana-sarana olahraga lainnya yang mendukung. “Kami juga memiliki 7 unit komputer multimedia, sehingga siswa/i bisa mengakses informasi tetang pelajarannya yang dibutuhkan,“ kata Korwa

Konsep mengembangkan SMP 3 lebih maju, yang pertama mendisiplinkan siswa dalam masuk sekolah, disiplin dalam berpakaian, disiplin dalam menyapa/ bergaul dengan teman sesama dan disiplin belajar di dalam kelas. “Saya anjurkan kepada bapak ibu guru agar memberi PR untuk anak. Jadi tidak ada jam untuk bermain lagi, karena tantangan sekolah berstandar nasional. Kemudian untuk bapak ibu guru mereka sudah mengerti maksud saya, dan guru sudah siap,“ katanya.

Selain mengutamakan disiplin, di sekolah ini juga menambahkan struktur kurikulum. Di mana kurikulum SMP hanya 32 jam di tambah menjadi 36 jam khusus penambahan mata pelajaran ujian nasional. Tidak hanya itu ada tambahan les lagi untuk sorenya selama 2 jam guna mencapai hasil yang maksimal. Tidak hanya itu kegiatan ekstrakulikuler pun diadakan guna mengali kemampuan siswa. Kegiatan ini difokuskan pada kegiatan yang dipertandingkan baik tingkat provinsi maupun tingkat nasional, seperti karate, pencak silat, atletik, tenis meja, dan seni. “Guru-guru olahraga juara dunianya ada di SMP 3, dan saya sendiri pelatih karate di PON Kaltim lalu,“ bangganya.

Menurut Wakil Kepala Sekolah Mokodopit Jermia Baris, S.Pd, siap bergandeng tangan dengan dewan guru melaksanakan program yang telah dicanangkan, guna memajukan SMP negeri 3. Selaras dengan keinginan Kepala Sekolah, Waka Kepsek ini juga mengutama penanaman disiplin siswa. Tidak hanya itu guru-guru juga harus memberi contoh yang baik. Sebab dengan penanaman disiplin yang sudah dicanangkan lewat visi misi, lambat laun pasti tercapai. Tidak hanya di dalam sekolah, tetapi stakeholder lainnya seperti orangtua siswa maupun masyarakat harus mendukung. “Ketiga pilar ini yang menentukan keberhasilan sebuah sekolah,“ kata Baris.

Prestasi

Tahun 2008 ada tiga siswa yang mengikuti PON di Kalimantan Timur mengikuti bidang renang, karate dan yudo. Untuk putri yang mewakili renang mendapat juara dua dan karate mendapat juara harapan. Sedangkan untuk guru ada mantan atlet nasional.

Pengontrolan

Jumlah siswa 1446 orang bukanlah hal yang mudah dalam pengawasannya. Oleh sebab itu, selaku kepala dan wakil kepala sekolah ada kerjasama yang baik antara dewan guru. Di mana setiap guru dilibatkan piket, sehingga untuk mengontrol anak-anak tidak terlalu sulit. Setiap harinya ada enam guru tetap atau tidak tetap yang piket. Selain karakter dan latarbelakang keluarga yang berbeda sehingga harus pandai-pandai mengakomodir.

Bahaya kemajuan teknologi juga diantisivasi SMP 3. Setiap anak yang membawa handphone harus dititip dipenjagaan atau guru yang piket. “Dari jauh orang tidak perlu lihat lokasi lagi, tetapi dari penampilan dan gaya bicara, dan kemampuan orang akui. Saya telah buktikan itu dengan jam enam pagi saya sudah berdiri di pintu masuk. Saya harus ketemu dengan guru dan siswa. Kerja saya tidak mau bicara banyak, tetapi saya buktikan dulu. Bicara sedikit tetapi memberi contoh yang banyak,“ kata Korwa. (Jon/R4)