Jumat, 27 November 2009


PLUIT JURU PARKIR

Sepasang sendal jepit bermerk Swallow yang sudah tidak jelas warnanya menjadi alas kaki sehari- hari dalam menjalankan aktifitasnya. Dengan menggunakan baju berwarna kuning yang sudah memudar, bernomor 33 dengan tulisan di belakannya ‘Juru Parkir Kota Jayapura’. Tidak lupa sebuah tas noken tergantung dibahu kirinya, tampak dari luar tas noken beberapa buah pinang, sirih dan kapur sebagai ‘jajanan’ khas yang sudah tidak asing lagi bagi orang asli Papua. Sebuah topi dengan motif Papua menutup kepalanya guna mengurangi sengatan matahari. Sebuah pluit berwarna hitam tergantung di lehernya dengan berwarna yang sama pula. Tidak lupa dua blok karcis tergenggam ditangan kirinya.

Priit...priit...priiit, bunyi pluit memecah kebisingan kota Jayapura siang itu. Seorang perempuan berusia paruh baya memberi komando bagi mobil yang mau keluar dari tempat parkir di Jalan Ahmad Yani, tepatnya di depan toko pusat servis Toshiba Jayapura. Tangannya yang kiri berusaha memberi kode, dengan pluit di mulut sembari dibunyikan, dengan spontan pengguna jalan memberi kesempatan bagi mobil yang akan lewat tersebut. Selembar karcis berwarna putih disodorkan kesopir, sembari menerima uang Rp 2ribu, anggukan refleks tanda terima kasih pun dilakukan. Sesekali tangannya menghitung uang ribuan yang ada, namun masih dari harapannya. Yubelina Degey, seorang ibu rumah tangga, dari Nabire hijrah ke Kota Jayapura berharap mendapatkan pekerjaan yang lebih baik, namun ternyata impian tersebut harus ditunda. Setiap hari harus bergelut dengan aktifitasnya sebagai juru parkir di Kota Jayapura.

Panas terik matahari ataupun di kala hujan tetap tidak dihiraukan yang penting mendapat hasil dari pekerjaan tersebut. Dari pagi, jam 08.00 hingga 16.00 merupaka jam kerjanya, setelah itu pergantian jam kerja (Shift). Yubelina khusus menjaga lokasi parkiran jenis kendaraan beroda empat atau mobil dengan tarif Rp 2ribu. Pendapatan dari pemunggutan retribusi kendaraan tersebut setiap harinya bervariasi. “Saat ini lumayan banyak, kebetulan lagi bulan puasa,” katanya. Sebelum bulan puasa Yubelina hanya bisa mengantongi Rp 50ribu hasil dari penyetoran kepihak petugas retribusi yang setiap sore memunggut semua retribusi di Kota Jayapura. Bulan puasa saat ini menjadi sebuah pintu berkat bagi dirinya, karena pendapatannya bertambah.

Dari sekian banyak juru parkir yang ada di Kota Jayapura saat ini dominan dilakoni oleh kaum maskulin. Meskipun pekerjaan tersebut dilakukan kebanyakan kaum laki- laki, Yubelina tidak pernah merasa minder atau malu melakukan pekerjaan yang sebenarnya tidak lazim dilakukan oleh seorang perempuan. “Untuk apa malu, yang penting kita bekerja dengan baik,” kata ibu beranak 7 ini. Suka duka menjadi juru parkir dengan penghasilan yang minim tidak membuat Yubelina patah arang. Ia tetap penuh senyum memberi pelayanan kepada setiap yang memarkirkan mobilnya. Yubelina hanya berharap kepada kendaraan yang parkir dapat memberi uang sesuai dengan tarif yang ada, karena dari karcis tersebut petugas akan menghitung berapa banyak karcis yang digunakan, dari karcis tersebut juga akan diketahui berapa banyak uang yang akan disetor kepada petugas yang ada. Hasil dari juru parkir yang dilakoninya saban hari hanya bisa mencukupi kebutuhan dapurnya saja. Oleh sebab itu, untuk mencari tambahan setiap pulang dari juru parkir, Yubelina langsung ke pasar guna menggelar sayurannya yang sudah dipersiapkan. Dari pekerjaan tersebut otomatis menyita waktunya untuk membagi kasih sayang kepada 7 orang anaknya yang masih kecil. Di waktu malam baru bisa bercanda ria dengan buah hatinya. Pekerjaan ini Yubelina lakukan untuk membantu beban suaminya yang bekerja sebagai juru parkir juga. “Ya beginilah, dari pada diam di rumah, mendingan kerja seperti ini untuk membantu suami,” kata ibu tamatan SMP ini. Ulet dan pekerja keras itulah sosok yang ada dalam diri Yubelina. Dengan menggunakan kaos berwarna kuning, warna baju juru parkir. Di benaknya tidak ada kata menyerah, namun terus berjuang demi sebuah kehidupan dan pendidikan anak- anaknya. “Untuk apa malu, yang penting kitong kerja tooo,” kata Yubelina.

Hasil retribusi yang didapatkan setiap harinya diserahkan kepada petugas dari Dispenda dengan perincian setoran bervariasi. Retribusi mobil yang harus diserahkan dalam satu hari Rp 200ribu dan paling kurang Rp 150ribu, sedangkan untuk retribusi motor yang harus diserahkan ke Dispenda Rp 100ribu atau Rp 50ribu, sisanya untuk diri sendiri. Setiap pagi sebelum melakukan aktifitasnya Yubelina bersama teman- temannya selalu datang ke petugas untuk mengambil beberapa blok karcis guna kebutuhan hari itu. Biasanya Yubelina mengambil tiga blok karcis sebagai antisivasi. Satu blok karcis berjumlah 100 lembar alhasil, dengan jumlah uang yang sama, pihak Dispenda akan mencatat semuanya dan mempertanyakan uang yang ada.

Menurut Okto Mara, sama- sama juru parkir, mengatakan Yubelina seorang yang baik, sosok pekerja keras. Sebagai juru parkir Okto juga merasa ada hal- hal yang tidak menyenangkan menjadi juru parkir. “Kita emosi kalau karcis sudah disobek, namun uang yang diberi tidak sesuai, kita yang rugi, dan ditanya pihak petugas,” kata Okto. Tidak ada pilihan bagi Yubelina kecuali terus berjuang dan bekerja melakukan pekerjaan yang ada, demi sebuah kehidupan dan masa depan anak- anaknya. (Jon/CR 7)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar