Jumat, 27 November 2009


KEJUJURAN KUNCI MELAYANI MASYARAKAT

“Terus berkarya itulah yang ada di dalam benaknya demi pemberdayaan orang- orang Papua”

Pintu ruangan kerjanya selalu terbuka, tampak susunan berkas map yang tersusun apik dengan setangkai bunga plastik menghiasi meja tugasnya semakin mempercantik ruangan. Suasana ruang kerja nan nyaman jauh dari kebisingan di tambah terpaan kipas angin nan sejuk menambah suasana semakin nyaman. Apalagi dinding ruangan yang baru dicat kuning serasi dengan warna gorden semakin membuat betah untuk bekerja dan berkreasi. Perawakannya yang tegas dan tidak kompromi dengan dosa, membuat Ia dihargai dan dihormati oleh semua orang yang mengenalnya, terlebih stafnya.

Sebagai kepala BAPAS sikapnya yang ramah, mengayomi dan murah senyum membuat orang- orang disekitarnya merasa nyaman. Elisabet Kaay, BC.Ip,.S.Sos namanya. Kepala Balai Pemasyarakatan (KABAPAS) Jayapura sudah dalam genggamannya. Sebuah jabatan yang tidak didapat secara instan, namun melalui tahap dan proses pengabdian yang panjang, sehingga saat duduk sebagai ‘kepala’ membuat Ia semakin matang dalam mengambil tindakan dan keputusan menyangkut kepentingan orang banyak. “Kejujuran kunci utama kita bekerja, sehingga menjadi bermanfaat dan berguna bagi masyarakat,” kata suami dari Hendrik Y. Rumsayor ini.

Wanita kelahiran Jayapura, 7 September 1959 ini menapaki karirnya dengan menimba ilmu di pulau jawa, di Akademi Ilmu Pemasyarakatan (AKIP) Jakarta, tanpa membuang waktu tahun 1982 di wisuda. Setelah menyelesaikan kuliahnya Ia tidak lansung pulang ke tanah Papua, kampung halamannya, namun tahun 1983 langsung diangkat menjadi Pegawai negeri sipil (PNS) sebagai staf KPLP di Lapas Klas I Wanita Tangerang selama dua tahun. Setelah mengabdi di pulau Jawa dengan banyaknya ilmu yang didapatkan, rasa kerinduan dan keinginan melayani kampung halaman menyelimutinya relung hatinya, akhirnya pada tahun 1985 kerinduan tersebut terjawab dan bertugas langsung di Lapas Klas IIA Jayapura sebagai Bagian Pengelolaan. Pelayanan yang diberikan untuk pemberdayaan orang asli Papua tidak hanya pada satu tempat saja, namun keinginan untuk melayani seluruh Papua memenuhi relung hatinya, selama 9 tahun melayani di Lapas Klas IIB Manokwari sebagai staf KPLP dan 14 tahun di Lapas Klas IIB Nabire sebagai Kasi BINADIK. Berbekal pengalaman dan pengabdian yang tulus akhirnya 6 September 2009 dilantik sebagai KABAPAS Jayapura. “Jabatan saat ini diperoleh berkat kerja keras dan berkat pertolongan Tuhan,” kata wanita asal Nafri ini.

Agenda kerja

Sejak dilantik 6 September 2009 lalu, sejumlah agenda siap dikerjakan. Salah satu bentuk terobosan dalam melayani masyarakat adalah diadakannya peradilan anak di Papua. Maksud dengan adanya peradilan anak maka setiap anak yang mendapat kasus dengan putusan hakim anak tersebut dikembalikan kepada orangtuanya masing- masing guna dilakukan pembinaan, tentunya tetap dalam pengawasan BAPAS. Peradilan anak sangat bermanfaat karena seorang anak merupakan masa depan generasi yang harus dipersiapkan dengan baik. “Tahun lalu ada 65 orang yang dikembalikan kepada orangtuanya dan sekarang sampai bulan Agustus ada 65 orang yang telah dikembalikan kepada orangtuanya, karena kita tidak mau seorang anak dipenjara bersama orang dewasa, bisa- bisa anak tersebut bisa lebih jahat lagi. Kita kan mengurus masyarakat yang sudah dikucilkan yang dianggap sampah masyarakat. sekarang tugas kita bagaimana membina dia, sehingga saat kembali ke masyarakat menjadi orang yang berguna,” kata wanita beranak 6 ini.

Kedua kontribusi kantor BAPAS bagi masyarakat dan pemerintah. Contoh ada cleaning service orang asli Papua dengan latarbelakang orangtuanya tidak mampu langsung dibiayai kuliahnya dari awal sampai wisuda. Pelayanan tersebut merupakan komitmen Kabapas bersama stafnya untuk orang asli Papua. Ketiga harus ada lapas anak di Papua. Elisabet prihatin sampai saat ini belum ada Lapas anak di Papua, padahal kenakalan anak di Papua semakin meningkat. Oleh sebab itu dibutuhkan satu wadah guna menampung kenakalan anak tersebut. “Kami mohon supaya ada perhatian gubernur agar Lapas anak diadakan di Papua demi penyelamatan generasi muda Papua. walaupun kita vertikal tetapi kontribusi tetap kita berikan untuk Pemda,” kata wanita yang bersekolah di SPG Negeri Jayapura ini. “Membina orang yang tidak baik menjadi baik itu berat, butuh pengorbanan yang ekstra. Jadi tidak cukup kita duduk sebagai pimpinan tetapi mereka butuh perhatian. Kita bisa menempatkan diri sebagai orangtua, kakak atau adik,” katanya.

Begitu banyak agenda besar yang akan dan telah dilakukan untuk masyarakat tidak berarti melupakan kesejahteraan stafnya. Sejak menjabat sebagai Kabapas ‘Koperasi Pengayoman’ mulai akif, dengan dana sudah mendekat Rp 100juta. Keberadaan koperasi ini sangat memberi kemudahan bagi pegawainya, sehingga ada yang memanfaatkan untuk kredit motor dengan mendapat pinjaman dari koperasi tersebut. Tidak hanya itu sumbangan sukarela bagi golongan tiga dan dua dilakukan setiap bulan, sehingga memberi banyak manfaat bagi staf itu sendiri. Keharmonisan kerja sangat dijunjung tinggi, sehingga terjadi hubungan yang baik antara atasan dan bawahan. Bahkan dirinya siap dikoreksi oleh bawahannya saat ada sesuatu yang dianggap kurang pas. Semuanya itu dilakukan dengan penuh rendah hati demi keberhasilan dan pencapaian hasil yang memuaskan. “Salah satu contoh, pintu ruangan saya tidak pernah dikunci, selalu terbuka. Ini pertanda keterbukaan saya bagi siapa saja dan tidak perlu ada rahasia,” kata Elisabet yang mendapat penghargaan setelah setahun masa bertugasnya menjadi terbaik mewakili Papua dalam rangka peringatan hari pemasyarakatan. Wanita yang tidak pernah merasakan uang Otsus tersebut berharap “Kalau boleh wilayah- wilayah ‘basah’ harus dipegang seorang wanita guna menekan angka KKN di Papua,” kata wanita yang memiliki motto ‘Setia dalam bekerja, jujur, diberkati dan menjadi berkat bagi orang lain’. (Jon/CR 7)


GALON ISI ULANG TIDAK HIGIENIS

“Depot air minum/isi ulang menjamur di Kota Jayapura. Namun hasil pengujian laboratorium dari 70 sampel yang diuji, hanya 15 sampel yang memenuhi standar layak konsumsi”

Usaha depot air minum atau lebih dikenal masyarakat ‘Air isi ulang’ menjamur di Kota Jayapura. Bisnis air isi ulang ini merupakan prospek cerah bagi para pelaku bisnis. Apalagi harganya yang relatif ‘miring’ dibanding Air minum dalam kemasan (AMDK- red) yang ada di supermarket dan kios- kios membuat masyarakat merasa terbantu. Mulai dari mahasiswa sampai yang berkeluarga memilih untuk membeli air galon isi ulang. “Dengan modal Rp 5000, sudah mendapatkan satu galon untuk minum beberapa hari,” kata Aris. Sebagai masyarakat dirinya belum mengetahui apakah air yang dikonsumsi setiap hari sudah melalui proses standar layak minum, yang terpenting air minum tersebut terjangkau.

Anto sebagai pengelola air isi ulang mengaku penampung dan filter air yang sedang ditanganinya saat ini selalu dibersihkan tiga bulan sekali, dengan sumber air didatangkan dari Sentani. “Kalau tentang yang lainnya saya tidak tahu mas, karena bos yang lebih tahu itu,” ujar Anto. Menurut Takhta Bakhtiar, SKM, Kasie Kesehatan Lingkungan Dinas Kesehatan Kota Jayapura, sejak bulan November 2008 sampai saat ini ada sekitar 70 sampel (Sample) depot air minum Se- Kota Jayapura di ambil sampel guna dilakukan pengujian laboratorium. Dari hasil pengujian tersebut ternyata hanya 15 sampel yang memenuhi syarat dan layak dikonsumsi. Pengujian Laboratorium yang dilakukan Dinas Kesehatan Kota Jayapura wilayah Waena sampai Tanjung Ria terdeteksi depot air minum yang tidak layak dikonsumsi. jikalaupun dikonsumsi maka beresiko sakit diare.

Dinas Kesehatan Kota belum bisa mengumumkan kekhalayak ramai mana depot air minum yang layak melayani masyarakat menyangkut prosedur kewenangan, apalagi untuk pemberhentian depot air minum bukan tugas Dinas Kesehatan. “Saat ini memang ada depot yang masih berjualan air isi ulang, padahal hasil uji laboratorium menunjukan tidak layak konsumsi. Yang layak dikonsumsi hanya 15 sample saja dan masalah penutupan depot bukan kewenangan kita. Kita mau umumkan, tetapi kita masih berpikir pengusaha, dan disisi lain kita melindungi konsumen sehingga aman,” kata Takhta. Takhta menjelaskan standar air minum ekoli dan koliformnya harus nol. Kalau ada sedikit saja ekoli maka sudah tidak memenuhi syarat air minum, karena ekoli ada dalam tinja manusia, jadi kalau ada sedikit saja ekolinya berarti air minum tersebut sudah terkontaminasi.

Dinas Kesehatan hanya memberi teguran bagi pengusaha Depot air yang positif ekoli supaya terus melakukan pengujian laboratorium untuk usahanya dan berkonsultasi mengenai masalah yang dihadapi guna perlindungan terhadap konsumen. Takhta menjelaskan pengusaha Depot air yang nakal, berhubungan dengan masalah debit air. Di mana Filter atau penyaringan memiliki aturan dalam tiap menit harus keluar sekian liter. Nah pada saat ada pelanggan maka aliran dipercepat, hal ini yang menyebabkan proses penjaringan menjadi tidak bagus dan air minum sudah tidak memenuhi standar. Guna melakukan perlindungan konsumen, Dinas Kesehatan melakukan pembinaan dan pengawasan enam bulan sekali bagi pengusaha Depot Air, di mana Oktober 2008 telah mengundang 45 pengusaha Depot Air minum, yang datang 30 orang. Dalam pertemuan tersebut pengusaha diberi penyuluhan, baik itu mengenai teknis pengolahan airnya, kebijakan dan peraturannya. “Akibat Depot air yang tidak higienis dan terkontaminasi ekoli akan menimbulkan diare, itupun tergantung dari daya tahan tubuh seseorang. Namun dikuatirkan dalam keluarga yang memiliki balita, apalagi saat membuat susu untuk bayi maka sangat riskan sekali,” ungkap Takhta. Cara umum, selain uji laboratorium untuk membuktikan air minum yang tidak higienis air minum tersebut disimpan beberapa hari maka akan kelihatan gumpalan- gumpalan dan endapan, nah disitu akan ketahuan kalau air tersebut tidak sehat. Efeknya adalah kesehatan terganggu akibat diare dan sangat beresiko untuk balita, karena sangat rentan bagi kesehatan. Sumber air di Jayapura seperti di Kloofkam yang dulunya sangat bersih, namun akibat adanya aktifitas penduduk dan adanya perternakan sehingga sumber air tersebut mulai tercemar, oleh sebab itu air di Jayapura tidak ada yang bisa langsung diminum, namun harus melalui pengolahan terlebih dahulu.

Adapun Standar air minum menurut Dinas Kesehatan PH: 6,5- 8,5, TDS: 1000 mg/L, Kekeruhan: 5 (Skala NTU), Warna: 15 (Skala TCU), Koliform Tinja: 0/per 100 ml, Total, Koliform: 5- 10/per 100 ml, Kesadahan (CaCO3): 500 mg/L, Besi: 0,3 mg/L, Mangan (Mn2+): 0,1 mg/L, Almunium: 0,2 mg/L, Klorida: 250 mg/L, Sulfat: 250 mg/L, Nitrat (NO3): 50 mg/L, Nitrit (NO2-): 3 mg/L, Zat Organik (KMnO4): 10 mg/L. Saat ini Dinas Kesehatan mulai mensosialisasikan tentang image masyarakat tentang air minum yang harus direbus. Image tersebut perlu diluruskan. Yang betul air harus diolah sebelum diminum, bisa melalui desinfeksi, keramik filter, dan air rahmat, jadi air tidak mesti harus direbus. Selain itu bisa menghemat, apalagi air rahmat sudah terbukti, yang penting airnya tidak berwarna, tidak berbau dan tidak berasa. proses air galon ada beberapa titik kritis mulai dari pengangkutan air melalui tengki, dimasukkan kepenampungan, masuk ke induk pengolahan sampai ke galon semuanya mengandung resiko dan bakteri bisa masuk kapan saja. “Harapan kami ada kesadaran pemilik depot untuk menjaga kesehatan air minumnya sehingga layak untuk dikonsumsi,” harap Takhta.

Menurut Ir. Kardin M. Simanjuntak, MMT, industri air ada dua yaitu industri air dalam kemasan dan depot air minum/air isi ulang. Kedua usaha ini sudah jelas pola pembinaannya. Masing- masing ada SK yang mengatur dari menteri perindustrian dan perdagangan. Yang jelas air dalam kemasan AMDK wajib SNI, jaminan mutunya sudah jelas dan dilakukan pengawasannya secara rutin baik oleh mereka sendiri, maupun dari instansi yang melakukan pengawasan. Depot air minum juga ada ketentuan pengawasannya, semuanya mengarah pada perlindungan masyarakat, tetapi di depot air galon jelas tidak ada jaminan mutu, karena tidak wajib SNI. “Kalau Depot air yang menjamur itu sah- sah saja, namun apakah sudah memiliki izin dan sudah dilakukan tes laboratorium,” tanya Simanjuntak. Perbedaan antara Depot air dengan AMDK sangat jauh, di mana secara kualitas AMDK lebih dijamin karena sudah memiliki SNI, merk dan bisa di titip di kios- kios atau supermarket, sedangkan depot air minum hanya bisa melayani ditempat saja dan tidak dibenarkan memiliki stok. “Kita di Provinsi hanya sebagai perpanjangan tangan dari departemen untuk aspek pembinaan secara umum. Tetapi pembinaan teknisnya ada di kabupaten kota baik itu menindak depot air minum yang bermasalah dan tidak layak dikonsumsi,” kata Simanjuntak.

Pihak Disperindag Provinsi selalu menganjurkan setiap konsumen untuk teliti sebelum membeli, dan jangan selalu terfokus pada harga. Simanjuntak mengakui AMDK harganya diatas depot air minum isi ulang merupakan hal yang wajar, sebab kualitasnya dijamin, karena melalui proses yang panjang. “Yang diproduksi depot air minum/isi ulang belum sebagai kualitas air minum, itu hanya sebagai air bersih. Saya tidak berani menganjurkan pembeli untuk meminum langsung air yang diproduksi oleh depot air minum/isi ulang,” kata Simanjuntak.

Terkait masalah perlindungan konsumen Dra. Betty Purwanti Ningsih, Apt, MM, Kabid SERLIK Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Jayapura, mengatakan, berdasar hukum keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI nomor 651/MPP/Kep/10/2004 tentang persyaratan Teknis Depot Air Minum dan perdagangannya, serta berdasar hukum keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan nomor 705/MPP/Kep/11/2003 tentang persyaratan teknis AMDK dan perdagangannya. Masing- masing usaha sudah ada peraturan yang menentukan oleh sebab itu guna menjaga kelayakan air minum untuk dikonsumsi baik itu Depot air minum maupun Air minum dalam kemasan (AMDK) perlu melalui pengujian laboratorium yang sudah terakreditasi. BPOM menilai AMDK tidak perlu diragukan mengenai kualitas dan standar kelayakan karena sudah melalui prosedur yang resmi, sesuai dasar hukum 705. BPOM lebih menyoroti tempat usaha depot air minum kebanyakan di pinggir jalan, otomatis asap kendaraan yang mengandung CO2 dan mengandung unsur logam dan zat kimia yang berbahaya akan mempengaruhi kualitas air akibat dari tempat usaha yang terbuka. “Dari awal kita sudah warning supaya kehigienisan sanitasi dari usaha industri harus diperhatikan. Jangan sampai ada korban dulu baru dilakukan perbaikan. Saya minta setiap pengusaha harus punya tanggungjawab moral jangan hanya mencari keuntungan saja. Tetapi mutu dari produknya harus dijaga, artinya dalam 6 bulan sekali produknya harus diuji di laboratorium,” kata Betty.

Disperindag Kota Jayapura melalui Kepala Bidang Perdagangan Ibrahim Ohorella, mengungkapkan syarat berdirinya usaha depot air minum harus melalui proses perizinan dan pengujian laboratorium yang resmi serta memenuhi syarat- syarat yang telah ditentukan. Jikalau persyaratannya belum lengkap maka perizinan akan ditahan oleh pihak Disperindag Kota, sampai semua persyaratan dipenuhi. “Kami akan menindak tegas jika ditemukan pengusaha air galon berjualan, namun belum melalui perizinan dan persyaratan uji laboratorium dengan resiko menghentikan usahanya dan mencabut perizinannya,” kata Ohorella. (Jon/CR 7)


Buaya Muncul Sebagai Pertanda

'Tiba-tiba guntur, kilat menyambar di dekat buaya tersebut, cuaca menjadi gelap'

Danau Sentani mempesona, itulah yang terucap bagi siapa saja yang pernah melihat keindahannya. Sejauh mata memandang, seolah- oleh Danau Sentani tidak ada habis-habisnya. Di kelilingi oleh bukit-bukit dengan rumput hijau, dan jejeran rumah masyarakat berdiri kokoh semakin mempercantik dan memperindah Danau tersebut. Sore itu, 29 September Kostan Ohee menggunakan perahunya menggarungi Danau Sentani nan tenang. Dalam perjalanannya sepasang matanya melihat sesosok benda yang sedang muncul di permukaan danau. Setelah diteliti dan diperhatikan, ternyata seekor buaya besar yang sedang muncul menghirup udara. “Saya pikir tadinya ikan besar,” kata Ohee. Melihat ada mangsa, secepat kilat ia memutar perahunya untuk mengambil tombak dan memberitahu warga sekitar. Tersentak pemuda dan seluruh laki-laki bergegas mengambil senjata berupa tombak, kampak dan parang. Mereka pergi mengepung buaya, masing-masing menggunakan perahu dan speedboat. Perburuan terhadap binatang melata ini tak mudah, membutuhkan waktu berjam- jam. Pengejaran di mulai dari dekat kampung Ayapo sampai ke muara Holtekam. Alotnya pencarian akibat buaya sering menyelam sampai satu jam di dalam air membuat warga harus bersabar menunggu sampai buaya muncul kembali guna menghirup udara. Setelah menunggu tiba-tiba buaya muncul, saat itulah hujanan tombak bermunculan mengenai badannya. Akibat serbuan tombak yang terlalu banyak, membuat binatang melata ini tak berdaya dan harus siap menjadi santapan. Setelah buaya tak bernyawa, buaya tersebut diikat, lalu di tarik menggunakan tiga buah speedboat untuk dibawa ke sebuah pulo. Setelah itu buaya tersebut dikuliti, lalu daging- dagingnya di bagi-bagi kepada masyarakat yang mau memakannya. Menurut Kostan Ohee, Petua kampung Asei Pulo- Sentani, kebiasaan kalau di Sentani kalau buaya timbul dari tempat lain, berarti buaya tersebut di usir keluar. Ia menjelaskan selama ini masyarakat mengetahui adanya buaya di danau Sentani, tetapi keberadaannya hanya di tempat tertentu saja. Sampai saat ini belum ada korban jiwa akibat binatang yang hidup di dua alam ini. “peristiwa munculnya buaya ini terjadi untuk kedua kalinya. Di mana yang pertama tidak sempat di bunuh, tetapi beberapa hari kemudian ditemukan sudah mati dan terapung di danau. Kejadian kedua ini, buaya berhasil ditangkap warga. Di bunuh,” kata Stery, yang ikut dalam perburuan.

Reaksi Masyarakat

Setelah mengetahui adanya buaya yang sedang diburu dan berhasil ditangkap oleh warga di danau tersebut, otomatis mengundang warga mulai dari anak kecil sampai ibu- ibu berbondong- bondong untuk menyaksikan buaya tersebut. Buaya dengan panjang sekitar 4 meter dan 70 Cm tersebut menjadi bidikan kamera warga yang menyaksikan.

Kata Stery, ini memang aneh, karena jarang terjadi, makanya dengan munculnya buaya dipermukaan air membuat orang di kampung kaget. Reaksi masyarakat takut sekali. masyarakat bilang buaya tersebut harus di bunuh, kalau tidak maka masyarakat tidak bisa melepas jaring dan anak- anak takut mandi.

Pertanda Aneh

Menurut Kostan Ohee, sebelum dikuliti, seorang anak muda nama Agus mengambil sebilah pisau untuk menguliti buaya tersebut, tetapi sebelum tangannya menyentuh buaya tiba-tiba ada guntur dan kilat menyambar di dekat buaya tersebut dan cuaca menjadi gelap. “Ada guntur berapa kali berturut- turut. Itu ada pertanda, bahwa dia (buaya) punya tuan sudah melepas buaya tersebut untuk di bunuh,”. Hal senada diucapkan Stery menyaksikan kejadian tersebut. Beberapa hari ini di Sentani sering hujan. Keadaan selalu mendung. Secara mitos dan adat, kata Ohee, kalau ada buaya yang timbul, ada orang tertentu yang akan meninggal, seperti Ondoafi, Kepala Suku yang ada hubungannya dengan buaya. Kata Ohee, pernah kejadian di tahun 60-an, buaya timbul. Ada nenek satu yang meninggal. Ternyata istri Ondoafi yang meninggal. “Kalau yang terjadi sekarang tidak tahu juga,” kata Ohee. (Jon/CR 7)


‘LINE CITY’ HOTEL BATAS KOTA

Perhotelan merupakan salah satu usaha dari beberapa usaha dari sub sector pariwisata yang merupakan sarana pokok dalam pengelolaan industri. Oleh sebab itu pembangunan perhotelan menjadi prospek yang menjanjikan dan sedang dilirik setiap pengusaha di Papua. Hotel ‘Line City’ (Hotel batas kota- red) hadir memenuhi kebutuhan masyarakat Papua dengan tempat yang strategis mempermudahkan perjalanan baik menuju airport maupun pusat kota Jayapura.

Hotel yang beralamat di Jl. Raya Sentani, depan Depnaker Kota Jayapura ini menyuguhkan pemandangan yang indah Danau Sentani, dengan jejeran bukit- bukit yang semakin memanjakan mata yang bertamu kehotel ini. Keberadaannya memberi warna indah kota Jayapura. latar belakang nama ‘Line City’ hotel, karena tempatnya berada pada batas kota Jayapura- Sentani dengan jejeran bukit/gunung dibelakangnya. Selain lokasi dipinggir jalan umum, pengisian bensin dan pusat perbelanjaan berdekat dengan hotel ini, sehingga mempermudah pengunjung atau tamu hotel menikmati indahnya kota ini.

Hotel ‘Line City’ hadir dengan dua lantai dengan motif bangunan penggabungan dua budaya antara budaya Bima (Nusa Tenggara Barat) dengan budaya Papua sehingga semakin mempercantik bangunan tersebut. “Kalau bentuk bangunan sesuai budaya saya, orang Bima, sedangkan motifnya kita gunakan motif seni Papua, sebagai penghargaan dan demi pelestarian budaya Papua,” kata M. Noer Jhohan.

Pemuda kelahiran Bima, 28 september 1974 ini menjelaskan hotel yang sedang dalam tahap proses penyelesaian ini materialnya menggunakan kayu besi yang sudah dioven, sehingga tidak terjadi penyusutan. Apalagi kayu di Papua melimpah, namun pengusaha tidak berani mengambil resiko membangun hotel menggunakan material kayu karena cos terlalu tinggi, dibandingkan material lainnya. Namun bagi Jhohan harus dilakukan karena Papua kaya dengan kayu. Oleh sebab itu hotel ‘Line City’ hadir dengan keunikannya, di mana ada pohon yang diangkut dari hutan dengan panjang 6 meter dengan ukuran 20x20 tanpa dipotong terlebih dahulu, tetapi langsung dipasang oleh belasan orang. “Kayu sayap kiri- kanannya menggunakan kayu panjang semua sampai 20 meter. Jadi tidak pakai sambung- sambung,” kata yang memiliki hobi main billiar ini. Untuk menghindari elastis maka kekuatan dasarnya diperkuat dengan tembok beton dan dicor karena lantai duanya juga dicor. Lantai bawah dengan dinding beton, sedangkan lantai dua dinding kayu dengan motif budaya Papua.

Fasilitas hotel

Hotel ‘Line City’ siap memanjakan konsumen yang berkunjung dan menginap bersama keluarganya tercinta. Sejumlah fasilitas untuk kemudahan para tamu disiapkan, mulai dari ukuran kamar yang berukuran 5x4 meter sebanyak 20 buah. Disetiap kamar dilengkapi air panas, air dingin, televisi, internet gratis dengan springbed buatan sendiri kualitas terjamin. Jika perut keroncongan jangan kuatir, restoran siap saji akan menyuguhkan menu khasnya serta sebuah VIP karaoke sebagai tempat hiburan untuk bersantai ria. “Kalau untuk karaoke kita menggunakan sistim member, sehingga tidak sembarang orang yang bisa masuk,” kata Putra Bima ini. “Saya akan berusaha memberi pelayanan seperti hotel berbintang, sekalipun fisik bangunan tidak menunjukan megah atau kemewahan. Namun dengan keunikannya, memberi kenyaman dan ketenangan bagi tamu itu sendiri dan insya Allah, kalau tidak ada halangan awal 2010 baru diresmikan,” kata jebolan Sarjana Hukum Uncen ini. (Jon/CR 7)


PLUIT JURU PARKIR

Sepasang sendal jepit bermerk Swallow yang sudah tidak jelas warnanya menjadi alas kaki sehari- hari dalam menjalankan aktifitasnya. Dengan menggunakan baju berwarna kuning yang sudah memudar, bernomor 33 dengan tulisan di belakannya ‘Juru Parkir Kota Jayapura’. Tidak lupa sebuah tas noken tergantung dibahu kirinya, tampak dari luar tas noken beberapa buah pinang, sirih dan kapur sebagai ‘jajanan’ khas yang sudah tidak asing lagi bagi orang asli Papua. Sebuah topi dengan motif Papua menutup kepalanya guna mengurangi sengatan matahari. Sebuah pluit berwarna hitam tergantung di lehernya dengan berwarna yang sama pula. Tidak lupa dua blok karcis tergenggam ditangan kirinya.

Priit...priit...priiit, bunyi pluit memecah kebisingan kota Jayapura siang itu. Seorang perempuan berusia paruh baya memberi komando bagi mobil yang mau keluar dari tempat parkir di Jalan Ahmad Yani, tepatnya di depan toko pusat servis Toshiba Jayapura. Tangannya yang kiri berusaha memberi kode, dengan pluit di mulut sembari dibunyikan, dengan spontan pengguna jalan memberi kesempatan bagi mobil yang akan lewat tersebut. Selembar karcis berwarna putih disodorkan kesopir, sembari menerima uang Rp 2ribu, anggukan refleks tanda terima kasih pun dilakukan. Sesekali tangannya menghitung uang ribuan yang ada, namun masih dari harapannya. Yubelina Degey, seorang ibu rumah tangga, dari Nabire hijrah ke Kota Jayapura berharap mendapatkan pekerjaan yang lebih baik, namun ternyata impian tersebut harus ditunda. Setiap hari harus bergelut dengan aktifitasnya sebagai juru parkir di Kota Jayapura.

Panas terik matahari ataupun di kala hujan tetap tidak dihiraukan yang penting mendapat hasil dari pekerjaan tersebut. Dari pagi, jam 08.00 hingga 16.00 merupaka jam kerjanya, setelah itu pergantian jam kerja (Shift). Yubelina khusus menjaga lokasi parkiran jenis kendaraan beroda empat atau mobil dengan tarif Rp 2ribu. Pendapatan dari pemunggutan retribusi kendaraan tersebut setiap harinya bervariasi. “Saat ini lumayan banyak, kebetulan lagi bulan puasa,” katanya. Sebelum bulan puasa Yubelina hanya bisa mengantongi Rp 50ribu hasil dari penyetoran kepihak petugas retribusi yang setiap sore memunggut semua retribusi di Kota Jayapura. Bulan puasa saat ini menjadi sebuah pintu berkat bagi dirinya, karena pendapatannya bertambah.

Dari sekian banyak juru parkir yang ada di Kota Jayapura saat ini dominan dilakoni oleh kaum maskulin. Meskipun pekerjaan tersebut dilakukan kebanyakan kaum laki- laki, Yubelina tidak pernah merasa minder atau malu melakukan pekerjaan yang sebenarnya tidak lazim dilakukan oleh seorang perempuan. “Untuk apa malu, yang penting kita bekerja dengan baik,” kata ibu beranak 7 ini. Suka duka menjadi juru parkir dengan penghasilan yang minim tidak membuat Yubelina patah arang. Ia tetap penuh senyum memberi pelayanan kepada setiap yang memarkirkan mobilnya. Yubelina hanya berharap kepada kendaraan yang parkir dapat memberi uang sesuai dengan tarif yang ada, karena dari karcis tersebut petugas akan menghitung berapa banyak karcis yang digunakan, dari karcis tersebut juga akan diketahui berapa banyak uang yang akan disetor kepada petugas yang ada. Hasil dari juru parkir yang dilakoninya saban hari hanya bisa mencukupi kebutuhan dapurnya saja. Oleh sebab itu, untuk mencari tambahan setiap pulang dari juru parkir, Yubelina langsung ke pasar guna menggelar sayurannya yang sudah dipersiapkan. Dari pekerjaan tersebut otomatis menyita waktunya untuk membagi kasih sayang kepada 7 orang anaknya yang masih kecil. Di waktu malam baru bisa bercanda ria dengan buah hatinya. Pekerjaan ini Yubelina lakukan untuk membantu beban suaminya yang bekerja sebagai juru parkir juga. “Ya beginilah, dari pada diam di rumah, mendingan kerja seperti ini untuk membantu suami,” kata ibu tamatan SMP ini. Ulet dan pekerja keras itulah sosok yang ada dalam diri Yubelina. Dengan menggunakan kaos berwarna kuning, warna baju juru parkir. Di benaknya tidak ada kata menyerah, namun terus berjuang demi sebuah kehidupan dan pendidikan anak- anaknya. “Untuk apa malu, yang penting kitong kerja tooo,” kata Yubelina.

Hasil retribusi yang didapatkan setiap harinya diserahkan kepada petugas dari Dispenda dengan perincian setoran bervariasi. Retribusi mobil yang harus diserahkan dalam satu hari Rp 200ribu dan paling kurang Rp 150ribu, sedangkan untuk retribusi motor yang harus diserahkan ke Dispenda Rp 100ribu atau Rp 50ribu, sisanya untuk diri sendiri. Setiap pagi sebelum melakukan aktifitasnya Yubelina bersama teman- temannya selalu datang ke petugas untuk mengambil beberapa blok karcis guna kebutuhan hari itu. Biasanya Yubelina mengambil tiga blok karcis sebagai antisivasi. Satu blok karcis berjumlah 100 lembar alhasil, dengan jumlah uang yang sama, pihak Dispenda akan mencatat semuanya dan mempertanyakan uang yang ada.

Menurut Okto Mara, sama- sama juru parkir, mengatakan Yubelina seorang yang baik, sosok pekerja keras. Sebagai juru parkir Okto juga merasa ada hal- hal yang tidak menyenangkan menjadi juru parkir. “Kita emosi kalau karcis sudah disobek, namun uang yang diberi tidak sesuai, kita yang rugi, dan ditanya pihak petugas,” kata Okto. Tidak ada pilihan bagi Yubelina kecuali terus berjuang dan bekerja melakukan pekerjaan yang ada, demi sebuah kehidupan dan masa depan anak- anaknya. (Jon/CR 7)


PENYAKIT KUSTA TERTINGGI DI KOTA JAYAPURA

Jam di dinding baru menunjukan pukul 09.00 pagi, namun kursi antrian pasien di puskesmas Kotaraja mulai dipenuhi pasien. Bahkan ada yang berdiri. Secarik kertas nomor antrian sekali-kali diliriknya, tampak raut wajah penuh kegelisahan, karena nomor yang dipanggil petugas masih jauh dengan nomor yang dipegangnya. NA (30 tahun) seorang pasien pria yang rutin berobat di Puskesmas Kotaraja demi penyakit yang sedang dideritanya. Sudah 7 bulan Ia menjalani perawatan. Hasilnya pun luar biasa, penyakit kusta yang dialaminya mulai mengering dan menuju kesembuhan. Semuanya terjadi akibat dari tekadnya, serta dukungan keluarganya yang selalu memberi motivasi, semangat untuk berobat dan minum obat secara teratur.

Cara Penularan

Menurut Maria (Mira) M. Nyamirah, AMd. Kep, Petugas Kusta di Puskesmas Kotaraja, penyakit kusta merupakan penyakit yang bisa disembuhkan. Setiap pagi sebelum melaksanakan dinasnya, ia selalu menjelaskan tentang penyakit kusta kepada setiap pasien yang berobat. Tidak hanya itu, brosur tentang penyakit kusta selalu disimpan di ruang antrian pasien. Langkah tersebut diambil guna memberi pengetahuan dan ajakan bagi pasien atau keluarganya yang dicurigai terkena kusta. Di mana gejala awal penyakit kusta, penderita tidak merasa terganggu, hanya terdapat kelainan kulit berupa bercak putih seperti panu ataupun bercak kemerah-merahan. Dari data Puskesmas Kotaraja, mulai dari tahun 2008 sampai saat ini ditemukan 13 orang pasien yang sedang menjalani pengobatan. “Kebanyakan diderita oleh kaum pria, ketimbang kaum perempuan,” kata Mira.

Lepra alias kusta merupakan penyakit yang disebabkan bakteri ‘Mycobacterium leprae’. Penyakit ini bukan disebabkan oleh kutukan atau keturunan, tetapi penyakit yang disebabkan oleh bakteri. Di mana Cara penularannya melalui droplet (udara) dan kontak langsung dengan pasien. “Siapa saja bisa terkena kusta, tetapi kebanyakan dialami oleh orang-orang dengan ekonomi rendah karena tidak hidup sehat dan tidak menjaga kebersihan,” kata Mira. Menurut Kepala Puskesmas Kotaraja, dr. Alex Thesia, di lihat dari sisi medis, Kusta diklasifikasikan berdasarkan banyak faktor, hal tersebut bertujuan untuk mempermudah cara penanganan dari penyakit kulit ini. Namun, pada umumnya Kusta terbagi menjadi dua, yakni kusta pausibasilar (PB) atau kusta tipe kering dan kusta multibasilar (MB) atau kusta tipe basah. Kusta Pausibasilar (PB) dengan tanda-tandanya: Bercak putih seperti panu yang mati rasa, artinya bila bercak putih tersebut disentuh dengan kapas, maka kulit tidak merasakan sentuhan tersebut, Permukaan bercak kering dan kasar, Permukaan bercak tidak berkeringat, Batas (pinggir) bercak terlihat jelas dan sering ada bintil-bintil kecil. “Kusta tipe kering ini kurang/tidak menular, namun apabila tidak segera diobati akan menyebabkan cacat,”.

Kusta Multibasilar (MB), tanda-tandanya: Bercak putih kemerahan yang tersebar satu-satu atau merata diseluruh kulit badan, Terjadi penebalan dan pembengkakan pada bercak, Pada permukaan bercak, sering ada rasa bila disentuh dengan kapas, dan Pada permulaan tanda dari tipe kusta basah sering terdapat pada cuping telinga dan muka. Kusta tipe basah ini dapat menular, maka bagi yang menderita penyakit tipe kusta tipe basah ini harus berobat secara teratur sampai selesai seperti yang telah ditetapkan oleh dokter. Pengobatan PB biasanya membutuhkan waktu sekitar enam bulan, sedang MB butuh waktu 12 bulan lebih.Penularannya melalui kontak langsung dengan kulit, seperti tukar pakaian dan tempat tidur maupun melalui kontak langsung lewat udara. Selain itu, Penyakit kusta bukan penyakit keturunan, tetapi jika dalam satu keluarga terkena penyakit tersebut, besar kemungkinan keluarga tersebut ada yang terkena kusta juga.” kata Alex.

Pencegahan

Pencegahan cacat Kusta jauh lebih baik dan lebih ekonomis daripada penanggulangannya. Pencegahan ini harus dilakukan sedini mungkin, baik oleh petugas kesehatan maupun oleh pasien itu sendiri dan keluarganya. Menurut Mira, Upaya pencegahan dan penemuan dini seorang penyakit kusta sangat bermanfaat dalam proses penyembuhan. Tetapi jika ditemukan dalam keadaan yang sudah parah, maka akan mengakibatkan pada kecacatan permanen. Keterlambatan tersebut dipicu akibat ketidaktahuan atau perasaan malu, sehingga menutup diri supaya diketahui oleh orang lain. Guna memberantas dan memutuskan rantai penularan penyakit kusta, Puskesmas Kotaraja, melalui dua langkah penjaringan yaitu, tindakan pasif, artinya di mana pasien datang ke Puskesmas dipemeriksa apakah ada tanda-tanda penyakit kusta. Kedua tindakan aktif, artinya melalui penyuluhan langsung baik itu ke sekolah-sekolah, Posyandu maupun dalam masyarakat langsung. “Saya berharap keluarga yang ada sakit kustanya jangan malu untuk berobat. Dan para tetangga yang mungkin berdekatan dengan pasien kusta, jangan takut tetapi berilah dukungan kepada mereka supaya cepat sembuh. Sebab penyakit kusta ada obatnya dan bisa disembuhkan,” kata Alex.

Menurut Arif Dwi Darmanto, M.Kes, Kepala Bidang Pengendalian Masalah Kesehatan, Dinas Kesehatan Kota Jayapura, Secara keseluruhan jumlah penderita kusta tahun 2009 diperkirakan mencapai minimal 220 kasus dari 236.456 jiwa penduduk Kota Jayapura. Prevalensi di Provinsi Papua masih berada pada kisaran angka 3,9. Artinya, di antara 10.000 penduduk rata-rata terdapat empat penderita kusta. Di Kota Jayapura angka prevalensinya sangat mengejutkan, yaitu 11,2 per 10.000 penduduk dan merupakan jumlah kasus tertinggi diantara seluruh kabupaten/kota di provinsi Papua. Kasus baru selalu saja ditemukan di berbagai tempat di wilayah Kota Jayapura. Terhitung sejak tahun 2001 rata-rata per tahunnya tak kurang dari 160 penderita kusta baru terdeteksi oleh petugas kesehatan. Dalam hal ini Kota Jayapura merupakan wilayah dengan jumlah penyandang kusta terbanyak di Provinsi Papua. Proporsi jumlah kasus barunya hampir sepertiga dari angka Provinsi. Sebagian penderita kusta terkonsentrasi di daerah pusat kota dan daerah pinggiran. Ada 4 daerah endemis, antara lain, Hamadi, Elly Uyo, Hedam dan Jayapura Utara.

Di samping sulitnya menekan jumlah kasus, angka kecacatan yang ditimbulkan tidak kurang dari 8% per tahun. 10% diantaranya adalah anak-anak. “Kalau proporsi penyakit kusta banyak terjadi pada anak, maka sangat disayangkan,” kata Arif. Dinas Kesehatan Kota Jayapura telah membentuk 2 KPD (Kelompok Perawatan Diri-Red) bagi penderita kusta, yang dipusatkan di Puskesmas Hamadi dan Puskesmas Abepura. Angka Penemuan Kasus Baru dan proporsi kasus Kusta pada anak-anak berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kota Jayapura tahun 2008 adalah: Jumlah penderita baru 219 orang Kusta, Angka Penemuan Kasus Baru 11,2/ 10.000, dan Proporsi Kasus Kusta pada anak-anak 17,5 %. Angka Penemuan Kasus Baru menggambarkan jumlah penemuan kasus baru Kusta diantara 100.000 penduduk. Proporsi kasus Kusta pada anak-anak menggambarkan prosentase kasus Kusta pada usia anak-anak diantara semua kasus Kusta. Kedua indikator tersebut menggambarkan bahwa masih ada atau terjadi proses penularan Kusta di masyarakat. Oleh karena itu upaya-upaya sosialisasi, advokasi program P2 Kusta dan adanya petugas kesehatan yang terampil dalam pengelolaan program maupun penderita Kusta merupakan bagian yang penting dalam keberhasilan pelaksanaan program P2 Kusta. ia berharap supaya ada penambahan dana dalam memberantas penyakit kusta, di mana dana yang diterima tahun ini sebesar Rp 400 juta bersumber dari dana Otsus. Khusus penyakit kusta hanya mendapat porsi Rp 25 juta. “Kalau idealnya dana yang dibutuhkan sebesar Rp 1.5 Miliar. Dana tersebut sudah mencakup semua program, termasuk penyakit kusta yang butuh penanganan serius dari wasor kota dan juru kota guna menemukan kasus baru,” kata Arif. (Jon/CR 7)


USAHA MIKRO BUTUH SUNTIKAN DANA PERBANKAN

Guna mengembangkan kegiatan usaha kecil menengah (usaha mikro-red) di Kota Jayapura, pelayanan dan uluran tangan pihak perbankkan sangat diharapkan. Suntikan dana melalui kredit yang diberikan memberi kemudahan dalam pengembangan usaha kelas mikro. Agus Fonataba, penjual ikan di Pasar Hamadi merasakan manfaatnya dari pinjaman perbankan. Usaha jualan ikannya sempat mandek akibat kekurangan dana. Tetapi sejak mendapat suntikan dana dari perbankan, usaha jualan ikannya dapat berjalan dan kembali normal. Tidak hanya itu, keuntungan dari jualannya bisa ditabung. “Anggsurannya setiap bulan ke bank, jadi lebih mudah,” kata Fonataba. Ia mendapat Informasi adanya kredit lunak dari pegawai bank yang sedang memberi sosialisai kepada pedagang. Informasi tersebut langsung ditindak lanjuti Fonataba, melengkapi persyaratan yang dibutuhkan, seperti fotokopi KTP, Kartu Keluarga dan jaminannya berupa meja jualan dan rumahnya. Semuanya berjalan dengan cepat. “Saya pinjam Rp 5 juta, tetapi pihak bank hanya memberikan Rp 3 juta,” kata Fonataba.

Berbeda dengan Isak Arongiar yang kesal terhadap pelayanan bank. Usahanya sedang membutuhkan pinjaman, tetapi pihak bank tidak memberi pinjaman. Menurut Arongiar, alasan pihak bank tidak memberi pinjaman karena tidak ada agunan/jaminan yang dapat diberikan kepada pihak bank. “Kita orang kecil mau kasi jaminan apa. Seharusnya pihak bank jangan mempersulit kita dengan persyaratan yang rumit. Fotokopi KTP dan Kartu Keluarga saja sudah cukup, ini kok minta agunan segala, ya mana kita punya” kata Arongiar. Ia tidak respon mengenai sosialisasi pihak perbankan. Usaha berjualan ikan saat ini bisa berlanjut karena pinjaman dari koperasi. “Daripada kita dipersulit di bank, mendingan pinjam di koperasi langsung diberikan, walaupun bunga agak tinggi, tapi batin ini puas,” katanya. Sulitnya mendapat pinjaman dari bank dibenarkan teman-teman Arongiar yang sama-sama berjualan ikan. Menurut Jettry, Kepala Unit Pemasaran Produk UMKM dan Kredit Program Bank Papua, guna mengembangkan usaha mikro di Kota Jayapura, pihak perbankan berkerjasama dengan Pemerintah Daerah Provinsi Papua memberi kesempatan kepada Mama-mama pedagang asli Papua mengembangkan usahanya melalui suntikan dana pinjaman/kredit dari bank dengan suku bunga rendah. Pinjaman yang bisa didapatkan maksimal 5 juta dengan melengkapi persyaratan sesuai prosedur administrasi perbankan, seperti foto kopi KTP (Suami/isteri, kalau sudah berkeluarga), fotokopi kartu keluarga, surat keterangan usaha dari lurah, fotokopi rekening listrik, pasphoto suami isteri dua lembar, lokasi tempat usaha dan tabungan harus di bank Papua. “Karena ini kerjasama dengan Pemda, maka kredit ini difokuskan kepada Mama-mama asli Papua demi pembinaan,” kata Jettry.

Kredit yang diberikan jumlahnya tidak semuanya sama, perlu pengkajian dari pihak perbankan yang turun kelapangan guna memastikan besarnya dana yang akan diberikan, sehingga tidak memberatkan mama-mama yang melakukan kredit dalam mengangsurkan bulanannya. “Kalau kita asal memberi, bisa-bisa kita mematikan usahanya karena tidak mampu mengangsurkan kreditnya,” Sosialisasi terus dilakukan guna memberi informasi yang jelas kepada mama-mama di pasar, karena kendala selama ini masih ada masyarakat yang berasumsi kredit adalah bantuan cuma-cuma yang tidak dikembalikan. Tidak hanya itu image negatif masyarakat terhadap perbankan yang memberi pelayanan kredit kelas mikro selalu dipersulit dengan persyaratan yang memberatkan, apalagi waktunya relatif lama. Jettry mengakui pelayanan relatif lama akibat prosedur administrasi dan kekurangan tenaga di lapangan. “Kalau mama-mama sudah biasa ke bank, sebenarnya tidak sulit dalam pengurusannya, dan saya berharap dengan adanya bantuan ini, usaha Mama-mama bisa berkembang lebih baik,” kata Jettry.

Menurut Ayub Marbo, S.IP, Kepala seksi perdagangan dalam negeri, Provinsi Papua mengatakan pihak perbankan tidak mempersulit masyarakat dalam transaksi peminjaman, tetapi masyarakat sendiri yang merasa keberatan karena masyarakat tidak biasa berurusan dengan perbankan. Masyarakat belum paham mengenai proseduran persyaratan yang diberlakukan pihak perbankan. Oleh sebab itu dibutuhkan komunikasi yang baik antara perbankan dengan pedagang ekonomi mikro, sehinga sosialisasi yang disampaikan pihak perbankan dapat diterima dengan baik oleh pedagang. Di sisi lain, perbankan membutuhkan jaminan yang tidak bisa dipenuhi pihak peminjam, karena kebanyakan pedagang tidak memiliki modal, tabungan, apalagi rumah yang bisa sebagai jaminan peminjaman. “Itukan manajemen perbankan,” kata Ayub. Ia mengakui kebutuhan jasa dan perdagangan di Papua paling menonjol. Dalam hal ini peran Pemerintah sangat diharapkan dalam menopang keberadaan pedagang kaki lima/ mama-mama pedagang sehingga bertumbuh dalam usahanya. “Kita hanya melirik saja, tetapi tidak pernah memberi perhatian sepenuhnya kepada mereka (PKL),” kata Ayub. Meskipun keterbatasan anggaran, Disperindagkop tetap memberi perhatian dalam rangka pemberdayaan ekonomi mikro di pesisir pantai dan danau, telah mengadakan diklat cara pembuatan perahu tempel, cara pengasapan ikan serta pemberian tenda bagi pedagang ikan. “Fakta, perekonomian kita dalam keadaan goncang, tetapi PKL tetap eksis, tidak mengalami goncangan. Kunci keberhasilan pemberdayaan ekonomi mikro ada di tangan pemerintah,” kata Ayub.

Pedagang kaki lima harus diperhatikan secara serius guna penciptaan lapangan pekerjaan. Tidak hanya itu, setiap pedagang harus digiring dalam naluri untuk menabung. Kesukaan menabung harus digalakan sehingga timbul kemandirian terhadap pedagang itu sendiri. Ia memberi contoh dalam sektor perikanan, di mana pemerintah memberi kail, umpan, perahu tempel dan bensin, yang dibutuhkan adalah usaha nelayan tersebut untuk berusaha. Hasilnya ditabung untuk perputaran usahanya kedepan. “Saya berharap ada komunikasi yang baik antara perbankan dan pedagang. Pedagang kaki lima butuh bahasa yang mudah dimengerti,” kata ayub. (Jon/CR 7)